Welcome to oye

Selamat membaca....

Kamis, 17 Agustus 2017

72 Semoga NKRI

72 NKRI

Semoga tiada lagi tikus-tikus pengerat berkeliaran
Semoga tiada lagi ayam mati di lumbung padi
Semoga tiada lagi pengeruk liar perut bumi pertiwi
Semoga tiada lagi penjahat berdasi
Semoga tiada lagi devide et impera
Semoga tiada lagi letupan senjata
Semoga tiada lagi siulan dipanggung sandiwara
Semoga tiada lagi banjiran airmata

Tuhan, mohon tetap lindungi NKRI
Dan tebarkan kedamaian di persada ini
Merdeka...!

MatraMenteps, 17/08/2017.

Sabtu, 12 Agustus 2017

Buat Teman se Harmoni

Sajak Buat Teman

Teman...Ini cerita baru saja bermula
Namun kisah telah kita rentang luas
Kita telah menghias panggung kecil kehidupan
Indah...manis sekali
Walau terkadang tergores lara

Ingat senyumanmu...duhai...bak pembawa damai ke jiwa.
Ingat gurauanmu...duhai...bak pengusir lara di hati
Nyanyianmu... bak penghantar tidur menuju mimpi.
Meski aku masih menerka...kemana arah yang hendak engkau raih.
Atau kemana tujuan yang hendak engkau capai.

Dan, teman...
Entahlah ada arti senyumku bagimu.
Moga hatimu damai kita bersama.
Entahlah gurauanku bisa mengusir galaumu,
Enyahkan lara dihatimu juga.
Moga hari-harimu penuh canda...ada dan tiada aku.
Entahlah nyanyianku berharmoni baik
Penjemput mimpi indahmu pula.
Mungkin engkau juga menerka.
Betapa samar arah dan tujuanku.

Di senyap malam aku bermohon.
Saat temaram masih berkemilau bintang
Jika arah dan tujuan ada di relung hati
Yuk...kita keluarkan putih sucinya
Jika hati kita masih bercampur hitam
Yuk...kita jadikan putih sucinya juga.

Sebab, teman...
Mula cerita harus kita tuntaskan.
Ruas kisah tak elok kita penggal.
Aku ingin menghias dan mempercantik panggung itu.
Bersamamu...yuk bersama kita.
Aku ingin tetap melukis disana
Bersamamu...yuk bersama kita.
Bersama senyummu
Bersama canda tawamu.
Kita samakan arah dan tujuan
Menuju cita, cinta dan kasih sayang abadi.

(MatraMenteps, 12/08/2017)

Lurus Luruh Sajak Yanuar Emra

LURUS LURUH
(Sajak YanE)

Tuhan...
Bukankah tugas hamba meluruskan ?!
Berdasar 17 bait doa wajib, dari kallam-Mu siang malam
"Tunjukilah kami jalan yang lurus"

Terkadang  NIAT lurus diambang oleh GODAAN
Terkadang PERKATAAN lurus menjulang di TINGGI HATI
Terkadang TINGKAHLAKU lurus berbelok di RAYUAN
Terkadang PERBUATAN lurus luruh oleh BISIKAN

Jika saja ada api yang dapat bisa membakar setan
Atau ada bara yang dapat menghanguskan iblis
Maka jelas enyah & tiada tempat lagi untuk;
Godaan, Tinggi Hati, Rayuan & Bisikan
Tapi, itu semua berupa ketidak-mungkinan.

Tuhan...
Sungguh hamba tidak mampu tahu
Semua ke-LURUS-an apakah sudah baik
Dibuku mana...sebelah mana banyaknya
Dicatatan sang petugasMu; Raqib atau 'Atid.
Siapa kelak penjaga di dua tempat sakral
Yang akan menampar atau merangkul hamba?
Kepercayaan setiaMu; Malik atau Ridwan kah?
Seperti hamba juga tidak mampu tahu
Kapan pesuruh-Mu; iZrail menjalankan perintahMu
Mengambil roh milikMu di raga yang bertopang di 8 karat belulang ini.

Karena Yang Maha Tahu hanya Engkau
Ya, Tuhan...
Mohon tetap LURUS kan jalan hamba.
Berikan hamba alutsista diri yang ampuh
Terhadap biang keladi yang me LURUH kan; Setan & iblis.
Ijinkan hamba dendam selamanya kepada mereka yang terkutuk itu.

(MatraMentep-24/07/17)

Puisi Dinding dan Ruyung

Ke Dinding & Ruyung

Pada dinding-dinding dan ruyung-ruyung.
Kalian bagaikan lugu dalam kebisuan
Bagaikan lumpuh tapi gesit gerakan
Seperti buta bersama ribuan mata-mata

Dalam diam kalian bergerah desah
Dalam hening kalian tiup angin bising
Saat berpora kalian entah dimana
Saat tertoreh ingin beroleh boleh

Tidak lah enak kita sedemikian
Diatas atap-atap ada langit beribu bintang
Tempat bertenggernya gemerlap impian
Mari mendekat, mari berdekat dan mendekap
Menghentak kaki dilantai bumi berawa-rawa

Enyahkan lagi sangka berpaling
Terang hati dan jernih fikir yuk gandengkan
Kita bisa satu dalam gelombang delta
membawa gerak serempak caravan ini
Dijalan yang lurus...insyaAllah DIA kuatkan.

(MatraMenteps, 170717)

Selasa, 14 Februari 2017

Sajak_Pilpas (Pemilihan Pasangan) dan Pilkada



Sajak: Pilpas (Pemilihan Pasangan) dan Pilkada ... :) by: YanE

PERMOHONAN URGENT KEPADA TUHAN

Tuhan…ini hati kok deman berbolak balik

              fikiran juga suka berubah-ubah

              hanya jantung yang tetap teratur dengan debarannya

              dan anugerah nafas konstan ditarik lepas

  namun, pujian tetap aku panjatkan kepadaMu, Tuhan sekalian alam



Tuhan…bahwa manusia dalam keadaan merugi

              tentu termasuklah aku, yang terhimbau dalam Kallam-Mu

              “Demi Masa”

              dengan imanku aku memburu kesalehan

              ya, aku sedikit melontarkan nasehat

              tapi, aku suka menerima banyak nasehat

              agar banyak pula aku beroleh hal yang hakiki

              dan penuh kesabaran dalam ragam cobaan



Tuhan…ketika Engkau suguhkan sesuatu, sesosok dan selain hal

              itu pasti kehendakMu; dan aku temukan, aku dapatkan, aku nikmati

              dan berubah jadi; suka cita, kasih sayang dan harapan selamanya utuh



Tuhan…Engkau tetap Maha Besar, Maha Mengetahui dan Maha Melihat

              hanya Engkau yang Maha Mampu untuk segala hal

              termasuk membolak-balikkan hati

              merubah-ubah fikiran

              mendebarkan jantung

              dan selalu dermawan atas pinjaman nafas



Tuhan,   please…aku bermohon untuk sesuatu, sesosok dan se-hal terakhir ini

              tetapkan hatinya tanpa berbolak-bali lagi

              stabilkan fikirannya, beriring kedamaian

              enyahkan sesuatu, sosok yang dan hal lain yang masih merasuki dirinya

              dan beri perlindungan ekstra padanya, saat syaitan menggodanya



Tuhan…putih hati ini, baik niat ini dan bulat tekad ini

              hanya Engkau yang bisa melihat dan mengetahui

              putihkah hati dia, baikkah niat dia dan telah bulatkah tekad dia?

              engkau juga mudah melihat dan mengetahuinya

              sementara, aku diterpa kebimbangan dan terkungkung kecemasan

              karenanya, mohon bocoran sekejab saja

              mohon berikan sedikit saja ke-Maha-an Engkau, Tuhan.

              aku ingin mengintip keputihan hatinya, ketulusan niatnya dan kebulatan tekadnya

              biar semuanya nanti, berjalan baik-baik saja hingga akhir masa.



jakarta, @senin dini, 13 Februari 2017 (selamat memilih dan mencoblos)

Jumat, 21 Oktober 2016

Puisi YanE Ode Buat Sang Rabb

Ode Buat Sang Rabb

Ya Allah...ya Rabb Tercinta.
Sungguh hamba bahagia...malam ini.
Merasakan detak jantung yang masih teratur
Masih Engkau izin kan nafas ini bertarik lepas
Demikian bebas dan leluasanya
Engkau pinjamkan pembuluh dan nadi utuh
Agar darah di raga lancar mengalir

UntukMU syukur hamba panjatkan
Tadi siang...Alhamdulillah.
Kaki ini tiada salah melangkah
Tangan ini tiada salah mengambil
Mata ini tiada salah memandang
Telinga ini tiada salah mendengar
Mulut ini tiada salah berucap

Pernah Engkau suguhkan rasa sakit
Berbatas dunia fana dan akhirat
Kemudian Engkau sembuhkan
Pernah Engkau cobakan dahaga tak bertemu air
Kemudian Engkau berikan mata air

Engkau bebankan berat ujian
Walau sedikit berentang panjang
Hamba yakin suatu saat... pasti Engkau ringankan
Bahkan Engkau enyahkan semua duka lara
Maha PenyayangMu kan hadirkan suka cita

Mohon ya Allah...
Tetap teguhkan iman hamba di dada
Kuatkan cinta hamba kepada Engkau
Selalu bimbing hamba di jalanMU yang lurus.
Aamiin.

(@Sudut malam Penegak, Jkt, 20/10/2016)

Selasa, 26 Juli 2016

Ingat DIA juga Kamu

Ingat DIA juga Kamu
(bias dini yang terlepaskan)

jika disini ada air mata,
jangan membuatnya mengalir makin deras,

tak hendak aq kau berduka
atau ikutan melinangkan air itu pula
sebab ini hanya sebuah kesah
yang terpaksa sulit bersua suka
harap berurai tanpa batas
mimpi tak seiring kenyataan
kasihpun terpenggal-penggal
sembah harus tetap kuhunjukkan
karena hutang nafas yang tak terhingga
ini antara aq dan DIA
jadi, biarkan saja aq meringis
tapi kau tidak boleh menangis..eaa
pertebal saja bentengmu
smoga kau meraup bahagia
disini, sekarang ini, begini....
sampaikan kapanpun aq kuat-kuatkan
meski sudah berada di cadas tajam
juga di jurang dalam yang kelam
aq harus menghamparkan ini
dikenyataan itu juga dikemayaan ini
kuhamburkan dari sesak kalbu
dan kualirkan pula pada lekuk-lekuk waktu
agar tak menghantam jejaring kepala
agar terang hati tetap bersonar
jenuh kehendak amat menumpuk
aq akan mengikuti kehendakNYA
meski diarahkanNYA entah kemana, berikutnya...
harap mungkin berlebihan
dalam pemaksaaan rangkaian doa
aq tetap menunggu kemahaanNYA

Jumat, 22 Juli 2016

PADA MALAM-MALAM YANG PANJANG

Malamku panjang I...
Katanya engkau akan sampai bisikan rindu kepada dia
Nyatanya tidak, sebab dia tak pernah merindu aku.
Tapi aku menghantar kamu hingga ke dini hari.

Malamku panjang II...
Katanya kamu siap menitipkan salam untuk dia
Nyatanya tidak, sebab tiada pengembalian salam dari dia.
Tapi aku dengan senang hati menemani kamu hingga 3/4 malam.

Malamku panjang III...
Katanya kamu mau  menghantar aku ke mimpi indahnya.
Nyatanya tidak, sebab dia benci aku di alam nyata.
Tapi aku tetap menemanin kamu hingga azan berkumandang.

Malamku panjang IV...
Katanya kamu mampu menghembuskan pelan
gelora rindu diperaduan dia yang panjang
Nyatanya juga tidak, sebab dia men sinyalkan genderang penolakan
Dan aku tetap mau menghantar kamu hingga fajar tiba.

Malamku...
Malam ini aku ingin dengar cerita panjangmu
Atas panjangnya jangkauan mu meraih dia.
Mohon suguhkan kebenaran, dimana celahku menggapai dia
Jika tidak...biarkanlah aku pulas menemani kamu
Hingga pagi nanti tanpa insomnia lagi

Pojok Matra, mlm panjang (16/07/16)
==============================

Minggu, 13 September 2015

CINTAKU HABIS DIBORONG DIA (bag.I)


Cerita Bersambung : Yanuar Emra


 Pojok Matraman 19, persis di depan Kantor Perwakilan sebuah provinsi ini nyaris tidak pernah sepi. 24 jam selalu padat penghuni. Pojok ini cukup kecil dan sempit, tapi ia bagaikan sebuah medan magnet maha dahsyat, ia mampu menarik minat warga ibukota, yang lalu lalang melewati Prapatan MAKASAMA (MAtraman Raya-PramuKA-SAlemba-MAtraman).


Alasan warga bersinggah di pojok itu adalah; sulitnya mencari ruang hijau dan trotoar yang mampu memberi ruang bagi warga, untuk istirahat sejenak, sambil menunggu kemacetan jalan super padat itu terurai. Di pojok ini tersisa cokolan sebatang pohon beringin menjulang, itupun kalah tinggi dengan beberapa gedung bertingkat di sekitarnya. Tapi cukup lumayan memberi suasana adem disiang hari dan menurunkan hawa dingin dikala malam.

Alasan kedua (kayaknya ini yang jadi daya tarik utama); di Pojok Matra ini ada warung kuliner dengan cita rasa enak, nyaman dan harga terjangkau. Ada Nasi Padang teteh Neni racikan chef uda Feri. Ada sate ayam aak Defri dan nasi goreng pak Kumis. Lagi-lagi tersohornya Pojok Matraman 19 dengan adanya warung Kokoy yang menyediakan minuman tradisional khas Sumatera Barat, yaitu Te Talue (Teh Telor). Disamping warung Kokoy, ada warung mini teteh Nina, yang menyediakan aneka snack, soft-drink dan aneka merek kotakan “sarang nikotin.”  Jadi, warga tidak perlu repot belanja ke modern retailer, seperti Alfamart, Alfa Midi dan 7eleven (sevel) yang juga tidak begitu jauh dari Pojok Matra itu.

Saat aku lepas tugas ber”kuli”, baik siang maupun malam, dapat dipastikan keberadaan diriku di Pojok Matra. Sebab, aku memang tinggal diwilayah padat pemukiman, dibelakang gedung-gedung pencakar langit itu. Meski di Grand Menteng ada berbagai jenis hiburan, sekali-kali aku hanya melihat perform temanku Hendra dan kawan-kawan dengan grup live band-nya. Katanya, dilantai bawah ada dancing-room, ramai, asik dan hangar bingar, namun selama hijrah ke ibukota, aku belum tertarik ke ruangan itu. Palingan, kala jenuh di Pojok Matra, aku bergeser ke Palanta Café dan Dusky Café, dua wadah berkumpul warga dengan hiburan musik hidup dan kuliner sehat, tanpa alkohol dan ladies penunggu. Lokasinya juga tak jauh dari Pojok Matra itu.

Malam minggu belum begitu dini, baru jam sebelas. Sebuah bangku tidak cukup panjang ditambah beberapa kursi plastik milik Kokoy ini telah kami duduki sejak pukul sembilan tadi, tentu dengan sewanya bertukar enam gelas teh telor. Aku kedatangan dua pahari (saudara, dayak Kalimantan Tengah) dari Palangkaraya; Kompol Roni Putra, calon Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) dan Mario, seorang pengusaha production house. Roni, mantan Kapolsekta Pahandut, Palangkaraya sedang berbahagia karena dinyatakan lulus Sespim Polri dan segera masuk pendidikan di Lembang. Sementara Mario di daulat oleh Pemda Kalimantan Tengah untuk menggarap dokumentasi audio dan video pada acara Festival Budaya Dayak Kalteng di Gelora Bung Karno, Senayan. Meski keduanya sosok berduit, malam ini ku “azab” mereka menginap dikamar kos ku yang sempit lagi tidak berpendingin. Mereka setuju saja, sekalian reunian sesama pahari, karena sudah 5 tahun tidak berjumpa. Hotel Balairung bintang tiga fasilitas bintang lima justru sudah di checkin oleh mereka, aku alihkan untuk dua teman wartawan; Agung dan Rifai yang tinggal diluar Jakarta, biasanya kalau terlalu malam di Pojok Matra, mereka juga dengan senang hati menginap di kamar kos ku yang sempit itu.

“ Dan elo, Rud… silahkan manfaatkan kemampuan lo untuk mencari hotel yang bagus lagi sehat pula,” kataku ke Rudi, seorang grosir sukses di Pasar Senen.

Aku sedikit heran, akhir-akhir ini Rudi jadi kecanduan menginap di kosan ku. Padahal dia punya Mercy keluaran terbaru, punya rumah, anak dan istri di Tangerang sana. Ketagihan dia menginap ditempatku mulai menimbulkan ketidak-nyamanan bagi diriku. Pertama, tidak nyaman dengan ibu kos. Kedua, tidak nyaman mendengar bisik-bisik busuk kawan-kawan di Pojok Matra ini, bahwa aku dan Rudi dibilang homoseksual.

Paling tidak nyamannya lagi, aku seorang penderita insomnia, dia enakan tidur pulas dengan volume ngorok yang cukup tinggi. Alhasil, aku tidak bisa menulis dan melanjutkan pekerjaan yang ada. Aku makin meracuni diri dengan nikotin-nya Dji Sam Soe, bolak-balik keluar kamar hingga pagi. Dia mah gitu orangnya, cuek bebek ngorok dan gak mau tau penderitaan susah tidur ku. Maka timbul niatku untuk “mengusir” Rudi secara halus dari penginapan…hehe kosan ku.

***

Malam Minggu makin ramai di Pojok Matra itu. Dua tenda coklat milik warung teteh Neny berikut puluhan kursinya dipenuhi oleh rombongan anggota dewan daerah yang yang bermaksud menikmati santap ekstra malam mereka. Sebagian dari wajah-wajah itu tentu ada yang aku kenali, karena pernah jadi narasumber untuk media aku, Agung dan Rifai. Sambil menunggu hidangan uda Feri, mereka juga memesan puluhan Te Talue.

“ Ayo, Yan, Gung, Fai…tambah lagi Te Talue-nya,” ujar bang Arko, salah satu anggota.
“ Makasih, bang. Ini masih ada,” jawab kami serentak.

Demi menghormati anggota dewan yang terhormat, aku mengajak Agung dan Rifai bangkit sejenak, kemudian menuju rombongan itu dan bersalaman dengan mereka. Tapi, ada dua cewek modis duduk dikursi milik sate ayam-nya aak Defri. Persis disamping kumpulan para anggota dewan.

“Rombongan anggota juga, mbak?” tanyaku.
“Oh, beda,” jawab mereka serentak.
Terlanjur menyapa, aku tetap memberanikan diri menyodorkan salam perkenalan..
“Saya Iyan,”
“Iren…,” jawab yang satunya.
dan satunya lagi juga saya salami.
“Monica,” katanya.
.”Ok, happy week-end ya, selamat menikmati sate-nya,” ujarku lagi.

Akupun segera kembali ke perkumpulan kami.

“ckckck, dasar pecundang, “ ujar Mario geleng-geleng kepala.
“Oh. dia emang gitu orangnya,” sela Agung.
 “Dari tadi mereka sering liatin kesini,” kata Roni pula.
“Palingan mereka tim go-pek and pek-go,” sambung Rudi.
“Hush, sembarangan. Emang lo pernah booking mereka,” tanyaku.
“Sorry lah yaw, masih cantikan bini gue,” balas Rudi.
“Hey, go-pek and pek-go apaan? tanya Mario.
“Nah, lo…Pahari wawancarai elo, rasain!” ujar Rudi

Aku sejenak terdiam, mau jawab apa enggak ya. Sebab jawabannya sangat berhubungan kehidupan para pekerja seks komersial, banyak jenis kehidupan gemerlap malam di ibukota ini, termasuk di sekitar Pojok Matra ini. Aku agak sungkan menjawabnya, karena sedikit sensitive, ini masalah social dilingkup kaum hawa.

“Ini sebenarnya singkatan dan jawaban kreasi Rudi, dia bilang kalo siang harganya limaratus ribu, kalo malam harganya seratus limapuluhribu. Go-Pek and Pek-Go, tul ga?! tanyaku pada Rudi.

Rudi tidak menjawab, dia malah berpaling dan menyembunyikan mukanya kearah dinding itu.

“Tuh, kan…diem. Kebiasaan, nge-booking yang begituan, dasar pecundang,”
“Udahan, aku mau ngamar (mencari kamar hotel), ngantuk…” potong Rudi.
“Sekalian gopek apa pekgo,” ujar ku lagi.

Rudi tidak menjawab, dia bangkit dari tempat duduknya. Ia bersalaman dengan Roni, Mario, Agung juga denganku.

“Hmm, malam ini selamat…,” gumam Rudi saat hendak meninggalkan kami.
“Selamat apaan,” tanya Agung.
“Bill Te Talue kita, itu…” Rudi menunjuk kearah anggota dewan.
“Dasar pengusaha pelit, awas…! Besok giliran elo,” ancamku.

Kami masih terbius dengan suasana malam di pojok itu. Sambil tetap bercerita yang sebenarnya hanya cerita untuk kadar angin lalu saja. Tiba-tiba kami di datangi oleh dua orang anak-anak peminta belas kasihan. Satu perempuan, satu laki-laki. Aku berusaha menahan mereka sejenak, tentu dengan memesankan 2 gelas susu putih hangat.

“ Kamu tidak sekolah besok, ini kan sudah larut malam?”tanyaku pada mereka.
“ Besok kan libur, Om” jawab anak yang perempuan.

Hmm, aku jadi sedikit tersipu malu. Tapi berusaha menyembunyikannya. Aku mesti nanya lagi.

“ Ini siapa, adik kamu?” tanyaku lagi.
“Iya, Om,” jawabnya
“Bapak dan ibu masih ada?”
Ada, Om
“Dimana?”
“Disana, dibawah kolong,” kata dia sambil menunjuk kea rah fly-over Makasama.
“ Trus, yang nyuruh begini siapa?”
“ Bapak, Om
“Bapakmu ga kerja?”
“Lagi sakit, Om,”
“Ibu, baru ngelahirin dedek lagi,” jawabnya polos.

Aku terdiam sejenak, begitu juga Roni, Mario dan Rifai. Kami saling pandang. Roni merogoh kantongnya, diikuti Mario dan aku juga. Tapi Agung meberi isyarat agar menahan dulu pemberian itu.

“Nama si kakak siapa si ade juga siapa namanya?” giliran Agung bertanya.
“Aku Lala dan adikku Adit,”
“Lala sekolah dimana, kelas berapa?
“SD 166, Om. Salemba Dalam. Aku baru kelas 3, Adit kelas 1” jawab.Lala.

“Lala…Adit, istirahat dulu, sambil minum susu hangat ya,” potong Roni.

Kami juga memandangi pakaian dibadan mereka yang lusuh dengan kedua pasang kaki yang tidak beralas.

“Kenapa sudah larut malam, belum juga pulang?” tanyaku lagi.
“Dapat duitnya belum cukup, Om?”
“Harusnya dapat berapa?”
“Aku limabelas ribu, Adit harus sepuluh ribu?” jawab Lala.

Kami kaget lagi, dapat disimpulkan lagi bahwa mereka juga di target oleh orangtuanya untuk mendapatkan uang dengan cara meminta-minta.

“Kalo hari biasa, besok sekolah, kalian masih kerja begini?” Tanya Mario pula.
“Iya, Om. Kalo siang jualan Koran di Lampu Merah prapatan. Malam juga,”

Roni merogoh dompetnya dan mengeluarkan dua lembar uang kertas seratus ribu. Mario juga demikian memberikan 150 ribu, Agung dan Rifai berdua 100 ribu. Sementara aku, berhubung dompet belum “basah”, hanya mampu memberi lima ribu saja.

“Nah, Lala…ini dari kami ada 455 ribu…”
Tiba-tiba kelompok abang-abang anggota dewan ada yang memanggil.
“Yan…tunggu! Kesini bentar” teriak bang Arko
“Siap, bang”
Aku memenuhi perintah bang Arko.
“ Ini dari kami, total 1 juta 500 ribu,”
“Baik, terima kasih abang-abang ku,”

Pandanganku sempat beradu dengan Iren dan Monica. Timbul niatku menuju meja mereka lagi, terhadang oleh rasa segan. Akupun buru-buru mau kembali ke perkumpulan kami bareng Lala dan Adit.

“Mas…Mas Iyan, bentar,” ternyata Monica memanggilku.
“Ya, mbak...ada apa?”
“Sudah dapat berapa?” tanyanya.
“Hmm…1 juta lima ratus ribu, tambah disana 455ribu, jadi 1 juta 955 ribu? Napa? Mau nambahin?” Aku balik nanya.
“Kami berdua Go-Pek, ini…!” sambung Iren dan memberikan uang kertas 100 ribu sebanyak lima lembar..

Aku cukup kaget dengan  Go-Pek nya itu. Apakah mereka marah? Atau barangkali mereka mendengar candaan Rudi tadi, tanyaku pula dalam hati.

“Hey, Ini ambil…!” teriak Monika.
“Siap, iya…mbak, makasih,” jawabku, kemudian berlalu dari mereka.

Tiba-tiba arah Grand Menteng, Rudi muncul lagi. Aku langsung menghadangnya.
“Sekarang keluarkan, Elo Pek-Go…!” bentakku sambil merogoh kantongnya.
“Usil, apaan? Kunci mobil gue ketinggalan” ujar Rudi. Dia terus menuju perkumpulan.
“Ayo, elo harus malu. Mba itu Go-Pek, ini duitnya. Elo Pek-Go aja, “

Setelah menyaksikan ada Lala dan Adit ditengah kami, berikut sumbangan yang menumpuk ditanganku, Rudi juga memberi 150 ribu.
“Makasih Pek-Go,” candaku lagi untuk Rudi.
Rudi kembali berlalu menuju hotelnya. Uang terkumpul untuk Lala dan Adit bertotal 2 juta 605 ribu.

Lala dan Adit dipanggil Iren dan Monika untuk makan menikmati sate ayam aak Defri. Kami berlima berembuk, mengingat cukup banyak jumlah uang untuk Lala dan Adit, sementara kebutuhan dan target pencarian mereka hanya 25 ribu permalam. Kami sepakat menitipkan uang itu kepada teteh Neni dan uda Feri, dengan catatan 25 ribu diberikan kepada Lala dan Adit setiap malamnya.

Lala dan Adit makan dengan lahapnya, disaksikan dua tantenya Iren dan Monika. Angle bagus demikian tidak kami sia-siakan. Kami mencabut “beceng” setia dari tas masing-masing. Aku “menembak” meja Iren dan Monika dari berbagai sudut dan angle dengan Sony keluaran setengah baru, diikuti oleh Digital handycam-nya Mario dan Nixon DXLRnya Agung juga Rifai. Kami mengabadikan Lala dan Adit bersama Iren dan Monika, disusul video bareng dan foto selfie Lala Adit ditengah puluhan anggota dewan. Tidak ketinggalan, kamipun berlima juga pengen mengabadikan diri bersama Lala dan Adit. Iren dan Monika kami daulat jadi cameramen dan fotografer dadakan. Entah apa gunanya klip dan foto-foto itu, terbiarkan untuk soal belakangan. Yang pasti rekaman itu dapat diolah menjadi sebuah soft dan socio news pada media masing-masing.

Jam sudah memberitahukan pukul satu dini hari. Saatnya pulang ke peraduan masing-masing.

“Lala dan Adit biar kami yang antar,” ujar Monika.
“Ok, bawa ranmor sendiri?” tanyaku. Iren dan Monika mengangguk.
“Ga usah, tante…deket kok. Kami biasa jalan kaki aja,” tolak Lala.
“Udah, ikutin tante aja.”  Kataku.

“Mas Iyan, PIN mu?” pinta Iren.
“Ga punya, HP masih jadul”
“Sini, pinjam,” desak Iren.
Sedikit malu aku, karena keybpad Nokia Xpresmusic setiaku ini sudah ada yang copot. Tapi tetap kuberikan kepada Iren.
“Itu nomerku dan juga Monika dah di contact, kapan-kapan call or sms ya,”
“Iya, makasih,” jawabku.

Lantas kuantar Iren dan Monika berikut Lala dan Adit ke parkiran yang juga tak jauh dair Pojok ini juga, persis dibawah pohon beringin yang rindang. Disana juru parker khusus malam hingga subuh adalah pak Umar, kakek 85 tahun, yang masih kuat merasa parker malam. Ia merasa memiliki area parker itu. Wajar, karena sejak usia belasan tahun sudah hidup disekitar Matraman ini. Pak Umar juga pernah menjadi narasumber mediaku. Di usia senja begitu, semangatnya masih membara melawan kejamnya ibukota. Ia mencari duit justru untuk cucu dan sekadar beli obat, katanya.

“Pak Umar…” sapaku.
Dia melihat dan meraba bahu kananku.
“Oh, elo Yan. Ada apa?”
“Ini mobil saudaraku mau keluar, diatur ya, pak. Ini uang parkirnya?” kataku sambil memberikan recehan sebanyak tiga ribu. Tapi Iren membungkusnya dengan uang kertas 20 ribu.

Semangat pak Umar makin meningkat, saat menerima bungkusan kecil terbuat dari uang kertas itu. Tiupan pluit nya pun lebih kencang, saat mengatur pengeluaran mobil Iren dari area parkir.

“Ok, Mas ya…kami pulang,” pamit Monika dan Iren.
“Sip, Mbak, ga ngantuk kan, hati-hati” balasku.

***
--bersambung-






 


Senin, 23 Juni 2014

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA III

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA (Bagian III)

 
Cerita Bersambung : Yanuar Emra 

Untuk mengaburkan pusat perhatian orang-orang di sana, Feri Lay mengajak Reza ke dalam ruko itu, Aku mengaitkan siku kananku ke siku kiri Reza dan menggiringnya ke ruko.

“Maaf, Kak…Aku telat dating,” kata Reza.

“Aku paham. Kami tidak pernah berharap kamu datang, karena kamu milik negara, bukan milik keluarga saja,” balasku.

Rezapun berhenti sejenak, menatap dan memelukku.

Hey, Reza…sampai juga kamu di Padang ya?” celutuk Maryono menghampiri kami, lalu menyalami Reza.

“Ya, sudah…di dalam saja lanjutkan,” perintah Lay.

Kami berempat menghilang dari kerumunan warga di badan jalan Damar itu, kemudian melanjutkan obrolan di dalam ruko.

“Di Jakarta, itulah yang kuhadapi setiap hari, demo dan kerusuhan hampir di seluruh pelosok ibukota. Aku betul-betul muak dengan semua itu. Untuk menengok keluarga yang kena musibah juga tidak diberi kesempatan. Hari ini aku cabut dari dinas, langsung ke sini via udara, setelah mendapat info dari Dewi dan Mita tadi pagi,” cetus Reza menjelaskan.

“Tapi, kenapa kamu tidak minta izin dulu? Itu bisa membahayakan posisi kamu.”

“Setiap aku minta izin selalu tidak mendapatkannya, aku sudah tanggung resikonya akan penanggalan baju ini.”

Kucuri pandang ke seluruh wajah dan tubuhnya. Wajar jika tadinya aku rada-rada lupa dengan Reza, karena badannya yang makin mekar dan tegar.

“Bang…!” panggil Maryono lagi, “ Aku barusan mendapat izin untuk menengok Mbak dan Tiara di kampung.”

 “Oke, terima kasih. Sekarang kamu ke atas, panggil calonmu itu,” jawabku dan menyuruhnya mencari Mita di lantai dua untuk membuatkan kami minuman.

“Ah, Abang ni, aku jadi malu sama si aparat dari ibukota ni,” balas Maryono tersipu.

“Sudah… sudah, pergi ke atas sana, aku juga sudah tahu kok,” sela Reza.

“Siap, laksanakan...!” canda Maryono.

Tak lama ditinggal Maryono, Danki Pujo datang menghampiri kami. Ia pun menyalami kami. Namun, Reza harus memberi sikap hormat tegap di tempat dulu, baru membalas salam Danki.

Sementara di luar ruko sepintas kulihat keramaian warga mulai meningkat. Hampir satu jam, pasca terkaparnya sekelompok perusuh itu, situasi masih aman dan terkendali. Tanda-tanda kerusuhan yang lebih besar lagi tidak kelihatan, kemungkinan provokatornya berurung niat untuk mennyusupkan aksinya, karena pergerakan dan penempatan aparat di beberapa titik rawan sudah dilakukan oleh para pengambil kebijakan.

Danki Pujo menjelaskan kepada kami bahwa kerusuhan beberapa waktu lalu itu tidak terlepas dari campur tangan provokator.

“Dari bahan dan keterangan yang kami peroleh, awalnya begini juga, kemudian si provokator bergabung dengan iring-iringan massa yang banyak. Di saat itulah mereka mulai memanasi dan membangkitkan emosi yang lainnya dan mulai terjadi pelemparan, pengrusakan, penjarahan dan pembakaran serta tindakan asusila. Kami sudah mengamankan sejumlah baket berikut sejumlah tersangka. Otak provokator sedang dalam buruan kami. Mudah-mudahan dalam jangka dekat kami bisa menangkapnya,” jelas Danki Pujo.

 “Ya, mudah-mudahan saja, Pak,” harapku sambil mempersilahkan Danki Pujo menikmati kopi hangat suguhan Maryono dan Mita.

“Tapi, kami meminta bantuan Pak Yanki untuk membangunkan kembali perusuh-perusuh itu, mengingat yang menidurkan mereka tadi adalah pak Yanki. Kami sudah usaha, kami kewalahan begitu juga pihak PMI (Palang Merah Indonesia – ed). Jadi, kami kembalikan ke Bapak,” pinta Danki Pujo.

“Reza, sekarang baru giliran kamu. Coba kamu bangunkan mereka dengan pedang itu. Terserah kamu, mau diapakan mereka dengan pedang itu, yang jelas tidak akan ada darah dan luka, walau kamu bacok dan kibaskan lagi ditubuh mereka. Dahului dengan menyebut nama Allah,” pintaku pula pada Reza.

“Hah, jangan bercanda, Kak..?!” jawab Reza bingung.

“Terus…, mau kita apakan? Yang merubuhkan mereka pedang itu, tidak ada salahnya dicoba membangunkan kembali pakai pedang itu pula.”

“Hayo, Rez!” perintah Danki Pujo.

“Si…siap, Komendan!” jawab Reza. Dengan kondisi bingung ia menerima pedang itu dari tanganku, lantas memburu para perusuh itu lagi. Kami pun mengiringinya.

Di luar sana emosi Reza kembali tersulut. Satu persatu perusuh itu dibacoknya. Alhamdulillah, berkat bacokan itu pula para perusuh terbangun. Satu perusuh dijatahi Reza dengan satu bacokan plus satu tendangan ekstra sepatu pe de el-nya. Aksi tersebut sempat menimbulkan pekikan dan kengerian warga, terutama kaum perempuan yang ikut menyaksikannya.

“Ayo, kalian naik sana.” bentak Reza, menyuruh para perusuh naik ke truk Dalmas dan PHH Polda setempat.

“Reza, pelan-pelan saja. Hasilnya sama. Ngapain kamu buang banyak tenaga?” hardikku.

Akhirnya seluruh perusuh terbangun dan siap dibawa markas aparat setempat untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawabannya.

Aku membawa Reza kembali ke dalam ruko. Lay meminta Reza menyerahkan kunci taxi kuning terparkir di tengah jalan yang masih diblokir aparat itu. Tak lama kemudian, satu jeep wilis tua, satu taxi bandara Tabing dan satu motor gede milik kesatuan Maryono sudah terparkir di depan ruko itu. Kami melanjutkan obrolan dan minum kopi siang itu.

“Lay, lu punya agenda apa, kita bisa pulang nggak?” tanyaku ke Lay, karena aku mengincar kendaraannya untuk pulang kampung.

“Dari patang-patang den ajak pulang. Angku iyo ndak baa manundo, tapi aden alun maliek kondisi Tiara, Malu den ka urang rumah angku. Sanak macam apo den dianggapnyo beko. Kini siap-siap, langsung wak pulang.” jawab Lay.

Aku hanya tertunduk  mendengar jawaban Lay yang telah kehilangan sebagian besar aset dan seluruh anggota keluarganya. Ia telah menyatakan badunsanak dengan aku berikut seluruh keluargaku.

Pasca kerusuhan tempo hari, Lay sempat menyarankan agar aku segera menutup usahaku, karena menurut feng-sui versi dirinya, ruko ini tidak akan menghasilkan apa-apa lagi. Ia berencana, dengan sisa asetnya yang ada, mengajak aku menekuni bidang perkebunan. Lay menyatakan diri siap tinggal dengan keluarga besarku di Pandai Sikek, kaki Gunung Singgalang itu.

“Hey, kalian melamun apa? Ayo siap-siap. Kita pulang kampung. Dan kalian, Dewi, Mita boleh pulang cepat. Ambil libur beberapa hari. Aku yang tanggung jawab. Kalau ada yang kangen sama sersan Maryono, silahkan menyusul,” ujar Lay lagi sambil menyindir Mita bercanda.

Kami mengikuti semua ajakan Lay. Dengan jip wilis tua yang masih betenaga prima itu aku, Reza, Maryono dan Lay di belakang setir, langsung berangkat menuju Pandai Sikek, sebuah daerah di kaki Gunung Singgalang. (tamat)
 

Yanuar Emra, lelaki kelahiran 5 Januari tahun ketumbar, berprofesi sebagai wartawan dan budayawan, berdomisili di Jakarta – editor: Zakirman Tanjung (tzakirman@gmail.com)