Cerita Bersambung : Yanuar Emra
Alasan warga bersinggah di pojok
itu adalah; sulitnya mencari ruang hijau dan trotoar yang mampu memberi ruang
bagi warga, untuk istirahat sejenak, sambil menunggu kemacetan jalan super
padat itu terurai. Di pojok ini tersisa cokolan sebatang pohon beringin
menjulang, itupun kalah tinggi dengan beberapa gedung bertingkat di sekitarnya.
Tapi cukup lumayan memberi suasana adem disiang hari dan menurunkan hawa dingin
dikala malam.
Alasan kedua (kayaknya ini yang
jadi daya tarik utama); di Pojok Matra ini ada warung kuliner dengan cita rasa
enak, nyaman dan harga terjangkau. Ada Nasi Padang teteh Neni racikan chef uda
Feri. Ada sate
ayam aak Defri dan nasi goreng pak Kumis. Lagi-lagi tersohornya Pojok Matraman
19 dengan adanya warung Kokoy yang menyediakan minuman tradisional khas Sumatera
Barat, yaitu Te Talue (Teh Telor). Disamping warung Kokoy, ada warung mini
teteh Nina, yang menyediakan aneka snack, soft-drink dan aneka merek kotakan “sarang
nikotin.” Jadi, warga tidak perlu repot
belanja ke modern retailer, seperti Alfamart, Alfa Midi dan 7eleven (sevel)
yang juga tidak begitu jauh dari Pojok Matra itu.
Saat aku lepas tugas ber”kuli”,
baik siang maupun malam, dapat dipastikan keberadaan diriku di Pojok Matra.
Sebab, aku memang tinggal diwilayah padat pemukiman, dibelakang gedung-gedung
pencakar langit itu. Meski di Grand Menteng ada berbagai jenis hiburan,
sekali-kali aku hanya melihat perform temanku Hendra dan kawan-kawan dengan
grup live band-nya. Katanya, dilantai bawah ada dancing-room, ramai, asik dan
hangar bingar, namun selama hijrah ke ibukota, aku belum tertarik ke ruangan
itu. Palingan, kala jenuh di Pojok Matra, aku bergeser ke Palanta Café dan
Dusky Café, dua wadah berkumpul warga dengan hiburan musik hidup dan kuliner
sehat, tanpa alkohol dan ladies penunggu. Lokasinya juga tak jauh dari Pojok
Matra itu.
Malam minggu belum begitu dini,
baru jam sebelas. Sebuah bangku tidak cukup panjang ditambah beberapa kursi
plastik milik Kokoy ini telah kami duduki sejak pukul sembilan tadi, tentu
dengan sewanya bertukar enam gelas teh telor. Aku kedatangan dua pahari
(saudara, dayak Kalimantan Tengah) dari Palangkaraya; Kompol Roni Putra, calon
Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) dan Mario, seorang pengusaha production
house. Roni, mantan Kapolsekta Pahandut, Palangkaraya sedang berbahagia karena
dinyatakan lulus Sespim Polri dan segera masuk pendidikan di Lembang. Sementara
Mario di daulat oleh Pemda Kalimantan Tengah untuk menggarap dokumentasi audio
dan video pada acara Festival Budaya Dayak Kalteng di Gelora Bung Karno,
Senayan. Meski keduanya sosok berduit, malam ini ku “azab” mereka menginap
dikamar kos ku yang sempit lagi tidak berpendingin. Mereka setuju saja,
sekalian reunian sesama pahari, karena sudah 5 tahun tidak berjumpa. Hotel
Balairung bintang tiga fasilitas bintang lima
justru sudah di checkin oleh mereka, aku alihkan untuk dua teman wartawan;
Agung dan Rifai yang tinggal diluar Jakarta ,
biasanya kalau terlalu malam di Pojok Matra, mereka juga dengan senang hati
menginap di kamar kos ku yang sempit itu.
“ Dan elo, Rud… silahkan
manfaatkan kemampuan lo untuk mencari hotel yang bagus lagi sehat pula,” kataku
ke Rudi, seorang grosir sukses di Pasar Senen.
Aku sedikit heran, akhir-akhir
ini Rudi jadi kecanduan menginap di kosan ku. Padahal dia punya Mercy keluaran
terbaru, punya rumah, anak dan istri di Tangerang sana . Ketagihan dia menginap ditempatku mulai
menimbulkan ketidak-nyamanan bagi diriku. Pertama, tidak nyaman dengan ibu kos.
Kedua, tidak nyaman mendengar bisik-bisik busuk kawan-kawan di Pojok Matra ini,
bahwa aku dan Rudi dibilang homoseksual.
Paling tidak nyamannya lagi, aku
seorang penderita insomnia, dia enakan tidur pulas dengan volume ngorok yang
cukup tinggi. Alhasil, aku tidak bisa menulis dan melanjutkan pekerjaan yang
ada. Aku makin meracuni diri dengan nikotin-nya Dji Sam Soe, bolak-balik keluar
kamar hingga pagi. Dia mah gitu orangnya, cuek bebek ngorok dan gak mau tau
penderitaan susah tidur ku. Maka timbul niatku untuk “mengusir” Rudi secara
halus dari penginapan…hehe kosan ku.
***
Malam Minggu makin ramai di Pojok
Matra itu. Dua tenda coklat milik warung teteh Neny berikut puluhan kursinya
dipenuhi oleh rombongan anggota dewan daerah yang yang bermaksud menikmati
santap ekstra malam mereka. Sebagian dari wajah-wajah itu tentu ada yang aku
kenali, karena pernah jadi narasumber untuk media aku, Agung dan Rifai. Sambil
menunggu hidangan uda Feri, mereka juga memesan puluhan Te Talue.
“ Ayo, Yan,
Gung, Fai…tambah lagi Te Talue-nya,” ujar bang Arko, salah satu anggota.
“ Makasih,
bang. Ini masih ada,” jawab kami serentak.
Demi
menghormati anggota dewan yang terhormat, aku mengajak Agung dan Rifai bangkit
sejenak, kemudian menuju rombongan itu dan bersalaman dengan mereka. Tapi, ada
dua cewek modis duduk dikursi milik sate ayam-nya aak Defri. Persis disamping
kumpulan para anggota dewan.
“Rombongan
anggota juga, mbak?” tanyaku.
“Oh, beda,”
jawab mereka serentak.
Terlanjur
menyapa, aku tetap memberanikan diri menyodorkan salam perkenalan..
“Saya Iyan,”
“Iren…,” jawab
yang satunya.
dan satunya
lagi juga saya salami.
“Monica,”
katanya.
.”Ok, happy
week-end ya, selamat menikmati sate-nya,” ujarku lagi.
Akupun segera
kembali ke perkumpulan kami.
“ckckck, dasar
pecundang, “ ujar Mario geleng-geleng kepala.
“Oh. dia emang
gitu orangnya,” sela Agung.
“Dari tadi mereka sering liatin kesini,” kata
Roni pula.
“Palingan
mereka tim go-pek and pek-go,” sambung Rudi.
“Hush,
sembarangan. Emang lo pernah booking mereka,” tanyaku.
“Sorry lah
yaw, masih cantikan bini gue,” balas Rudi.
“Hey, go-pek
and pek-go apaan? tanya Mario.
“Nah,
lo…Pahari wawancarai elo, rasain!” ujar Rudi
Aku sejenak
terdiam, mau jawab apa enggak ya. Sebab jawabannya sangat berhubungan kehidupan
para pekerja seks komersial, banyak jenis kehidupan gemerlap malam di ibukota
ini, termasuk di sekitar Pojok Matra ini. Aku agak sungkan menjawabnya, karena
sedikit sensitive, ini masalah social dilingkup kaum hawa.
“Ini
sebenarnya singkatan dan jawaban kreasi Rudi, dia bilang kalo siang harganya limaratus
ribu, kalo malam harganya seratus limapuluhribu. Go-Pek and Pek-Go, tul ga?!
tanyaku pada Rudi.
Rudi tidak
menjawab, dia malah berpaling dan menyembunyikan mukanya kearah dinding itu.
“Tuh, kan …diem. Kebiasaan,
nge-booking yang begituan, dasar pecundang,”
“Udahan, aku
mau ngamar (mencari kamar hotel), ngantuk…” potong Rudi.
“Sekalian
gopek apa pekgo,” ujar ku lagi.
Rudi tidak
menjawab, dia bangkit dari tempat duduknya. Ia bersalaman dengan Roni, Mario,
Agung juga denganku.
“Hmm, malam
ini selamat…,” gumam Rudi saat hendak meninggalkan kami.
“Selamat
apaan,” tanya Agung.
“Bill Te Talue
kita, itu…” Rudi menunjuk kearah anggota dewan.
“Dasar
pengusaha pelit, awas…! Besok giliran elo,” ancamku.
Kami masih
terbius dengan suasana malam di pojok itu. Sambil tetap bercerita yang
sebenarnya hanya cerita untuk kadar angin lalu saja. Tiba-tiba kami di datangi
oleh dua orang anak-anak peminta belas kasihan. Satu perempuan, satu laki-laki.
Aku berusaha menahan mereka sejenak, tentu dengan memesankan 2 gelas susu putih
hangat.
“ Kamu tidak
sekolah besok, ini kan
sudah larut malam?”tanyaku pada mereka.
“ Besok kan libur, Om ” jawab
anak yang perempuan.
Hmm, aku jadi
sedikit tersipu malu. Tapi berusaha menyembunyikannya. Aku mesti nanya lagi.
“ Ini siapa,
adik kamu?” tanyaku lagi.
“Iya, Om ,” jawabnya
“Bapak dan ibu
masih ada?”
“Ada , Om ”
“Dimana?”
“Disana,
dibawah kolong,” kata dia sambil menunjuk kea rah fly-over Makasama.
“ Trus, yang
nyuruh begini siapa?”
“ Bapak, Om ”
“Bapakmu ga
kerja?”
“Lagi sakit, Om ,”
“Ibu, baru
ngelahirin dedek lagi,” jawabnya polos.
Aku terdiam
sejenak, begitu juga Roni, Mario dan Rifai. Kami saling pandang. Roni merogoh kantongnya,
diikuti Mario dan aku juga. Tapi Agung meberi isyarat agar menahan dulu
pemberian itu.
“Nama si kakak
siapa si ade juga siapa namanya?” giliran Agung bertanya.
“Aku Lala dan
adikku Adit,”
“Lala sekolah
dimana, kelas berapa?
“SD 166, Om. Salemba Dalam. Aku baru kelas 3, Adit kelas 1” jawab.Lala.
“Lala…Adit,
istirahat dulu, sambil minum susu hangat ya,” potong Roni.
Kami juga
memandangi pakaian dibadan mereka yang lusuh dengan kedua pasang kaki yang
tidak beralas.
“Kenapa sudah
larut malam, belum juga pulang?” tanyaku lagi.
“Dapat duitnya
belum cukup, Om ?”
“Harusnya
dapat berapa?”
“Aku limabelas
ribu, Adit harus sepuluh ribu?” jawab Lala.
Kami kaget
lagi, dapat disimpulkan lagi bahwa mereka juga di target oleh orangtuanya untuk
mendapatkan uang dengan cara meminta-minta.
“Kalo hari
biasa, besok sekolah, kalian masih kerja begini?” Tanya Mario pula.
“Iya, Om. Kalo siang jualan Koran di Lampu Merah prapatan.
Malam juga,”
Roni merogoh
dompetnya dan mengeluarkan dua lembar uang kertas seratus ribu. Mario juga
demikian memberikan 150 ribu, Agung dan Rifai berdua 100 ribu. Sementara aku,
berhubung dompet belum “basah”, hanya mampu memberi lima ribu saja.
“Nah, Lala…ini
dari kami ada 455 ribu…”
Tiba-tiba
kelompok abang-abang anggota dewan ada yang memanggil.
“Yan…tunggu!
Kesini bentar” teriak bang Arko
“Siap, bang”
Aku memenuhi
perintah bang Arko.
“ Ini dari
kami, total 1 juta 500 ribu,”
“Baik, terima
kasih abang-abang ku,”
Pandanganku
sempat beradu dengan Iren dan Monica. Timbul niatku menuju meja mereka lagi,
terhadang oleh rasa segan. Akupun buru-buru mau kembali ke perkumpulan kami
bareng Lala dan Adit.
“Mas…Mas Iyan,
bentar,” ternyata Monica memanggilku.
“Ya,
mbak...ada apa?”
“Sudah dapat
berapa?” tanyanya.
“Hmm…1 juta lima ratus ribu, tambah
disana 455ribu, jadi 1 juta 955 ribu? Napa ?
Mau nambahin?” Aku balik nanya.
“Kami berdua
Go-Pek, ini…!” sambung Iren dan memberikan uang kertas 100 ribu sebanyak lima lembar..
Aku cukup
kaget dengan Go-Pek nya itu. Apakah
mereka marah? Atau barangkali mereka mendengar candaan Rudi tadi, tanyaku pula
dalam hati.
“Hey, Ini
ambil…!” teriak Monika.
“Siap,
iya…mbak, makasih,” jawabku, kemudian berlalu dari mereka.
Tiba-tiba arah
Grand Menteng, Rudi muncul lagi. Aku langsung menghadangnya.
“Sekarang keluarkan,
Elo Pek-Go…!” bentakku sambil merogoh kantongnya.
“Usil, apaan?
Kunci mobil gue ketinggalan” ujar Rudi. Dia terus menuju perkumpulan.
“Ayo, elo
harus malu. Mba itu Go-Pek, ini duitnya. Elo Pek-Go aja, “
Setelah
menyaksikan ada Lala dan Adit ditengah kami, berikut sumbangan yang menumpuk
ditanganku, Rudi juga memberi 150 ribu.
“Makasih
Pek-Go,” candaku lagi untuk Rudi.
Rudi kembali
berlalu menuju hotelnya. Uang terkumpul untuk Lala dan Adit bertotal 2 juta 605
ribu.
Lala dan Adit
dipanggil Iren dan Monika untuk makan menikmati sate ayam aak Defri. Kami
berlima berembuk, mengingat cukup banyak jumlah uang untuk Lala dan Adit,
sementara kebutuhan dan target pencarian mereka hanya 25 ribu permalam. Kami
sepakat menitipkan uang itu kepada teteh Neni dan uda Feri, dengan catatan 25
ribu diberikan kepada Lala dan Adit setiap malamnya.
Lala dan Adit
makan dengan lahapnya, disaksikan dua tantenya Iren dan Monika. Angle bagus
demikian tidak kami sia-siakan. Kami mencabut “beceng” setia dari tas
masing-masing. Aku “menembak” meja Iren dan Monika dari berbagai sudut dan
angle dengan Sony keluaran setengah baru, diikuti oleh Digital handycam-nya
Mario dan Nixon DXLRnya Agung juga Rifai. Kami mengabadikan Lala dan Adit
bersama Iren dan Monika, disusul video bareng dan foto selfie Lala Adit
ditengah puluhan anggota dewan. Tidak ketinggalan, kamipun berlima juga pengen
mengabadikan diri bersama Lala dan Adit. Iren dan Monika kami daulat jadi
cameramen dan fotografer dadakan. Entah apa gunanya klip dan foto-foto itu,
terbiarkan untuk soal belakangan. Yang pasti rekaman itu dapat diolah menjadi
sebuah soft dan socio news pada media masing-masing.
Jam sudah
memberitahukan pukul satu dini hari. Saatnya pulang ke peraduan masing-masing.
“Lala dan Adit
biar kami yang antar,” ujar Monika.
“Ok, bawa
ranmor sendiri?” tanyaku. Iren dan Monika mengangguk.
“Ga usah,
tante…deket kok. Kami biasa jalan kaki aja,” tolak Lala.
“Udah, ikutin
tante aja.” Kataku.
“Mas Iyan, PIN
mu?” pinta Iren.
“Ga punya, HP
masih jadul”
“Sini, pinjam,”
desak Iren.
Sedikit malu
aku, karena keybpad Nokia Xpresmusic setiaku ini sudah ada yang copot. Tapi
tetap kuberikan kepada Iren.
“Itu nomerku
dan juga Monika dah di contact, kapan-kapan call or sms ya,”
“Iya,
makasih,” jawabku.
Lantas kuantar
Iren dan Monika berikut Lala dan Adit ke parkiran yang juga tak jauh dair Pojok
ini juga, persis dibawah pohon beringin yang rindang. Disana juru parker khusus
malam hingga subuh adalah pak Umar, kakek 85 tahun, yang masih kuat merasa
parker malam. Ia merasa memiliki area parker itu. Wajar, karena sejak usia
belasan tahun sudah hidup disekitar Matraman ini. Pak Umar juga pernah menjadi
narasumber mediaku. Di usia senja begitu, semangatnya masih membara melawan
kejamnya ibukota. Ia mencari duit justru untuk cucu dan sekadar beli obat,
katanya.
“Pak Umar…”
sapaku.
Dia melihat
dan meraba bahu kananku.
“Oh, elo Yan. Ada apa?”
“Ini mobil
saudaraku mau keluar, diatur ya, pak. Ini uang parkirnya?” kataku sambil
memberikan recehan sebanyak tiga ribu. Tapi Iren membungkusnya dengan uang
kertas 20 ribu.
Semangat pak
Umar makin meningkat, saat menerima bungkusan kecil terbuat dari uang kertas
itu. Tiupan pluit nya pun lebih kencang, saat mengatur pengeluaran mobil Iren
dari area parkir.
“Ok, Mas
ya…kami pulang,” pamit Monika dan Iren.
“Sip, Mbak, ga
ngantuk kan ,
hati-hati” balasku.
***
--bersambung-