Welcome to oye

Selamat membaca....

Minggu, 13 September 2015

CINTAKU HABIS DIBORONG DIA (bag.I)


Cerita Bersambung : Yanuar Emra


 Pojok Matraman 19, persis di depan Kantor Perwakilan sebuah provinsi ini nyaris tidak pernah sepi. 24 jam selalu padat penghuni. Pojok ini cukup kecil dan sempit, tapi ia bagaikan sebuah medan magnet maha dahsyat, ia mampu menarik minat warga ibukota, yang lalu lalang melewati Prapatan MAKASAMA (MAtraman Raya-PramuKA-SAlemba-MAtraman).


Alasan warga bersinggah di pojok itu adalah; sulitnya mencari ruang hijau dan trotoar yang mampu memberi ruang bagi warga, untuk istirahat sejenak, sambil menunggu kemacetan jalan super padat itu terurai. Di pojok ini tersisa cokolan sebatang pohon beringin menjulang, itupun kalah tinggi dengan beberapa gedung bertingkat di sekitarnya. Tapi cukup lumayan memberi suasana adem disiang hari dan menurunkan hawa dingin dikala malam.

Alasan kedua (kayaknya ini yang jadi daya tarik utama); di Pojok Matra ini ada warung kuliner dengan cita rasa enak, nyaman dan harga terjangkau. Ada Nasi Padang teteh Neni racikan chef uda Feri. Ada sate ayam aak Defri dan nasi goreng pak Kumis. Lagi-lagi tersohornya Pojok Matraman 19 dengan adanya warung Kokoy yang menyediakan minuman tradisional khas Sumatera Barat, yaitu Te Talue (Teh Telor). Disamping warung Kokoy, ada warung mini teteh Nina, yang menyediakan aneka snack, soft-drink dan aneka merek kotakan “sarang nikotin.”  Jadi, warga tidak perlu repot belanja ke modern retailer, seperti Alfamart, Alfa Midi dan 7eleven (sevel) yang juga tidak begitu jauh dari Pojok Matra itu.

Saat aku lepas tugas ber”kuli”, baik siang maupun malam, dapat dipastikan keberadaan diriku di Pojok Matra. Sebab, aku memang tinggal diwilayah padat pemukiman, dibelakang gedung-gedung pencakar langit itu. Meski di Grand Menteng ada berbagai jenis hiburan, sekali-kali aku hanya melihat perform temanku Hendra dan kawan-kawan dengan grup live band-nya. Katanya, dilantai bawah ada dancing-room, ramai, asik dan hangar bingar, namun selama hijrah ke ibukota, aku belum tertarik ke ruangan itu. Palingan, kala jenuh di Pojok Matra, aku bergeser ke Palanta Café dan Dusky Café, dua wadah berkumpul warga dengan hiburan musik hidup dan kuliner sehat, tanpa alkohol dan ladies penunggu. Lokasinya juga tak jauh dari Pojok Matra itu.

Malam minggu belum begitu dini, baru jam sebelas. Sebuah bangku tidak cukup panjang ditambah beberapa kursi plastik milik Kokoy ini telah kami duduki sejak pukul sembilan tadi, tentu dengan sewanya bertukar enam gelas teh telor. Aku kedatangan dua pahari (saudara, dayak Kalimantan Tengah) dari Palangkaraya; Kompol Roni Putra, calon Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) dan Mario, seorang pengusaha production house. Roni, mantan Kapolsekta Pahandut, Palangkaraya sedang berbahagia karena dinyatakan lulus Sespim Polri dan segera masuk pendidikan di Lembang. Sementara Mario di daulat oleh Pemda Kalimantan Tengah untuk menggarap dokumentasi audio dan video pada acara Festival Budaya Dayak Kalteng di Gelora Bung Karno, Senayan. Meski keduanya sosok berduit, malam ini ku “azab” mereka menginap dikamar kos ku yang sempit lagi tidak berpendingin. Mereka setuju saja, sekalian reunian sesama pahari, karena sudah 5 tahun tidak berjumpa. Hotel Balairung bintang tiga fasilitas bintang lima justru sudah di checkin oleh mereka, aku alihkan untuk dua teman wartawan; Agung dan Rifai yang tinggal diluar Jakarta, biasanya kalau terlalu malam di Pojok Matra, mereka juga dengan senang hati menginap di kamar kos ku yang sempit itu.

“ Dan elo, Rud… silahkan manfaatkan kemampuan lo untuk mencari hotel yang bagus lagi sehat pula,” kataku ke Rudi, seorang grosir sukses di Pasar Senen.

Aku sedikit heran, akhir-akhir ini Rudi jadi kecanduan menginap di kosan ku. Padahal dia punya Mercy keluaran terbaru, punya rumah, anak dan istri di Tangerang sana. Ketagihan dia menginap ditempatku mulai menimbulkan ketidak-nyamanan bagi diriku. Pertama, tidak nyaman dengan ibu kos. Kedua, tidak nyaman mendengar bisik-bisik busuk kawan-kawan di Pojok Matra ini, bahwa aku dan Rudi dibilang homoseksual.

Paling tidak nyamannya lagi, aku seorang penderita insomnia, dia enakan tidur pulas dengan volume ngorok yang cukup tinggi. Alhasil, aku tidak bisa menulis dan melanjutkan pekerjaan yang ada. Aku makin meracuni diri dengan nikotin-nya Dji Sam Soe, bolak-balik keluar kamar hingga pagi. Dia mah gitu orangnya, cuek bebek ngorok dan gak mau tau penderitaan susah tidur ku. Maka timbul niatku untuk “mengusir” Rudi secara halus dari penginapan…hehe kosan ku.

***

Malam Minggu makin ramai di Pojok Matra itu. Dua tenda coklat milik warung teteh Neny berikut puluhan kursinya dipenuhi oleh rombongan anggota dewan daerah yang yang bermaksud menikmati santap ekstra malam mereka. Sebagian dari wajah-wajah itu tentu ada yang aku kenali, karena pernah jadi narasumber untuk media aku, Agung dan Rifai. Sambil menunggu hidangan uda Feri, mereka juga memesan puluhan Te Talue.

“ Ayo, Yan, Gung, Fai…tambah lagi Te Talue-nya,” ujar bang Arko, salah satu anggota.
“ Makasih, bang. Ini masih ada,” jawab kami serentak.

Demi menghormati anggota dewan yang terhormat, aku mengajak Agung dan Rifai bangkit sejenak, kemudian menuju rombongan itu dan bersalaman dengan mereka. Tapi, ada dua cewek modis duduk dikursi milik sate ayam-nya aak Defri. Persis disamping kumpulan para anggota dewan.

“Rombongan anggota juga, mbak?” tanyaku.
“Oh, beda,” jawab mereka serentak.
Terlanjur menyapa, aku tetap memberanikan diri menyodorkan salam perkenalan..
“Saya Iyan,”
“Iren…,” jawab yang satunya.
dan satunya lagi juga saya salami.
“Monica,” katanya.
.”Ok, happy week-end ya, selamat menikmati sate-nya,” ujarku lagi.

Akupun segera kembali ke perkumpulan kami.

“ckckck, dasar pecundang, “ ujar Mario geleng-geleng kepala.
“Oh. dia emang gitu orangnya,” sela Agung.
 “Dari tadi mereka sering liatin kesini,” kata Roni pula.
“Palingan mereka tim go-pek and pek-go,” sambung Rudi.
“Hush, sembarangan. Emang lo pernah booking mereka,” tanyaku.
“Sorry lah yaw, masih cantikan bini gue,” balas Rudi.
“Hey, go-pek and pek-go apaan? tanya Mario.
“Nah, lo…Pahari wawancarai elo, rasain!” ujar Rudi

Aku sejenak terdiam, mau jawab apa enggak ya. Sebab jawabannya sangat berhubungan kehidupan para pekerja seks komersial, banyak jenis kehidupan gemerlap malam di ibukota ini, termasuk di sekitar Pojok Matra ini. Aku agak sungkan menjawabnya, karena sedikit sensitive, ini masalah social dilingkup kaum hawa.

“Ini sebenarnya singkatan dan jawaban kreasi Rudi, dia bilang kalo siang harganya limaratus ribu, kalo malam harganya seratus limapuluhribu. Go-Pek and Pek-Go, tul ga?! tanyaku pada Rudi.

Rudi tidak menjawab, dia malah berpaling dan menyembunyikan mukanya kearah dinding itu.

“Tuh, kan…diem. Kebiasaan, nge-booking yang begituan, dasar pecundang,”
“Udahan, aku mau ngamar (mencari kamar hotel), ngantuk…” potong Rudi.
“Sekalian gopek apa pekgo,” ujar ku lagi.

Rudi tidak menjawab, dia bangkit dari tempat duduknya. Ia bersalaman dengan Roni, Mario, Agung juga denganku.

“Hmm, malam ini selamat…,” gumam Rudi saat hendak meninggalkan kami.
“Selamat apaan,” tanya Agung.
“Bill Te Talue kita, itu…” Rudi menunjuk kearah anggota dewan.
“Dasar pengusaha pelit, awas…! Besok giliran elo,” ancamku.

Kami masih terbius dengan suasana malam di pojok itu. Sambil tetap bercerita yang sebenarnya hanya cerita untuk kadar angin lalu saja. Tiba-tiba kami di datangi oleh dua orang anak-anak peminta belas kasihan. Satu perempuan, satu laki-laki. Aku berusaha menahan mereka sejenak, tentu dengan memesankan 2 gelas susu putih hangat.

“ Kamu tidak sekolah besok, ini kan sudah larut malam?”tanyaku pada mereka.
“ Besok kan libur, Om” jawab anak yang perempuan.

Hmm, aku jadi sedikit tersipu malu. Tapi berusaha menyembunyikannya. Aku mesti nanya lagi.

“ Ini siapa, adik kamu?” tanyaku lagi.
“Iya, Om,” jawabnya
“Bapak dan ibu masih ada?”
Ada, Om
“Dimana?”
“Disana, dibawah kolong,” kata dia sambil menunjuk kea rah fly-over Makasama.
“ Trus, yang nyuruh begini siapa?”
“ Bapak, Om
“Bapakmu ga kerja?”
“Lagi sakit, Om,”
“Ibu, baru ngelahirin dedek lagi,” jawabnya polos.

Aku terdiam sejenak, begitu juga Roni, Mario dan Rifai. Kami saling pandang. Roni merogoh kantongnya, diikuti Mario dan aku juga. Tapi Agung meberi isyarat agar menahan dulu pemberian itu.

“Nama si kakak siapa si ade juga siapa namanya?” giliran Agung bertanya.
“Aku Lala dan adikku Adit,”
“Lala sekolah dimana, kelas berapa?
“SD 166, Om. Salemba Dalam. Aku baru kelas 3, Adit kelas 1” jawab.Lala.

“Lala…Adit, istirahat dulu, sambil minum susu hangat ya,” potong Roni.

Kami juga memandangi pakaian dibadan mereka yang lusuh dengan kedua pasang kaki yang tidak beralas.

“Kenapa sudah larut malam, belum juga pulang?” tanyaku lagi.
“Dapat duitnya belum cukup, Om?”
“Harusnya dapat berapa?”
“Aku limabelas ribu, Adit harus sepuluh ribu?” jawab Lala.

Kami kaget lagi, dapat disimpulkan lagi bahwa mereka juga di target oleh orangtuanya untuk mendapatkan uang dengan cara meminta-minta.

“Kalo hari biasa, besok sekolah, kalian masih kerja begini?” Tanya Mario pula.
“Iya, Om. Kalo siang jualan Koran di Lampu Merah prapatan. Malam juga,”

Roni merogoh dompetnya dan mengeluarkan dua lembar uang kertas seratus ribu. Mario juga demikian memberikan 150 ribu, Agung dan Rifai berdua 100 ribu. Sementara aku, berhubung dompet belum “basah”, hanya mampu memberi lima ribu saja.

“Nah, Lala…ini dari kami ada 455 ribu…”
Tiba-tiba kelompok abang-abang anggota dewan ada yang memanggil.
“Yan…tunggu! Kesini bentar” teriak bang Arko
“Siap, bang”
Aku memenuhi perintah bang Arko.
“ Ini dari kami, total 1 juta 500 ribu,”
“Baik, terima kasih abang-abang ku,”

Pandanganku sempat beradu dengan Iren dan Monica. Timbul niatku menuju meja mereka lagi, terhadang oleh rasa segan. Akupun buru-buru mau kembali ke perkumpulan kami bareng Lala dan Adit.

“Mas…Mas Iyan, bentar,” ternyata Monica memanggilku.
“Ya, mbak...ada apa?”
“Sudah dapat berapa?” tanyanya.
“Hmm…1 juta lima ratus ribu, tambah disana 455ribu, jadi 1 juta 955 ribu? Napa? Mau nambahin?” Aku balik nanya.
“Kami berdua Go-Pek, ini…!” sambung Iren dan memberikan uang kertas 100 ribu sebanyak lima lembar..

Aku cukup kaget dengan  Go-Pek nya itu. Apakah mereka marah? Atau barangkali mereka mendengar candaan Rudi tadi, tanyaku pula dalam hati.

“Hey, Ini ambil…!” teriak Monika.
“Siap, iya…mbak, makasih,” jawabku, kemudian berlalu dari mereka.

Tiba-tiba arah Grand Menteng, Rudi muncul lagi. Aku langsung menghadangnya.
“Sekarang keluarkan, Elo Pek-Go…!” bentakku sambil merogoh kantongnya.
“Usil, apaan? Kunci mobil gue ketinggalan” ujar Rudi. Dia terus menuju perkumpulan.
“Ayo, elo harus malu. Mba itu Go-Pek, ini duitnya. Elo Pek-Go aja, “

Setelah menyaksikan ada Lala dan Adit ditengah kami, berikut sumbangan yang menumpuk ditanganku, Rudi juga memberi 150 ribu.
“Makasih Pek-Go,” candaku lagi untuk Rudi.
Rudi kembali berlalu menuju hotelnya. Uang terkumpul untuk Lala dan Adit bertotal 2 juta 605 ribu.

Lala dan Adit dipanggil Iren dan Monika untuk makan menikmati sate ayam aak Defri. Kami berlima berembuk, mengingat cukup banyak jumlah uang untuk Lala dan Adit, sementara kebutuhan dan target pencarian mereka hanya 25 ribu permalam. Kami sepakat menitipkan uang itu kepada teteh Neni dan uda Feri, dengan catatan 25 ribu diberikan kepada Lala dan Adit setiap malamnya.

Lala dan Adit makan dengan lahapnya, disaksikan dua tantenya Iren dan Monika. Angle bagus demikian tidak kami sia-siakan. Kami mencabut “beceng” setia dari tas masing-masing. Aku “menembak” meja Iren dan Monika dari berbagai sudut dan angle dengan Sony keluaran setengah baru, diikuti oleh Digital handycam-nya Mario dan Nixon DXLRnya Agung juga Rifai. Kami mengabadikan Lala dan Adit bersama Iren dan Monika, disusul video bareng dan foto selfie Lala Adit ditengah puluhan anggota dewan. Tidak ketinggalan, kamipun berlima juga pengen mengabadikan diri bersama Lala dan Adit. Iren dan Monika kami daulat jadi cameramen dan fotografer dadakan. Entah apa gunanya klip dan foto-foto itu, terbiarkan untuk soal belakangan. Yang pasti rekaman itu dapat diolah menjadi sebuah soft dan socio news pada media masing-masing.

Jam sudah memberitahukan pukul satu dini hari. Saatnya pulang ke peraduan masing-masing.

“Lala dan Adit biar kami yang antar,” ujar Monika.
“Ok, bawa ranmor sendiri?” tanyaku. Iren dan Monika mengangguk.
“Ga usah, tante…deket kok. Kami biasa jalan kaki aja,” tolak Lala.
“Udah, ikutin tante aja.”  Kataku.

“Mas Iyan, PIN mu?” pinta Iren.
“Ga punya, HP masih jadul”
“Sini, pinjam,” desak Iren.
Sedikit malu aku, karena keybpad Nokia Xpresmusic setiaku ini sudah ada yang copot. Tapi tetap kuberikan kepada Iren.
“Itu nomerku dan juga Monika dah di contact, kapan-kapan call or sms ya,”
“Iya, makasih,” jawabku.

Lantas kuantar Iren dan Monika berikut Lala dan Adit ke parkiran yang juga tak jauh dair Pojok ini juga, persis dibawah pohon beringin yang rindang. Disana juru parker khusus malam hingga subuh adalah pak Umar, kakek 85 tahun, yang masih kuat merasa parker malam. Ia merasa memiliki area parker itu. Wajar, karena sejak usia belasan tahun sudah hidup disekitar Matraman ini. Pak Umar juga pernah menjadi narasumber mediaku. Di usia senja begitu, semangatnya masih membara melawan kejamnya ibukota. Ia mencari duit justru untuk cucu dan sekadar beli obat, katanya.

“Pak Umar…” sapaku.
Dia melihat dan meraba bahu kananku.
“Oh, elo Yan. Ada apa?”
“Ini mobil saudaraku mau keluar, diatur ya, pak. Ini uang parkirnya?” kataku sambil memberikan recehan sebanyak tiga ribu. Tapi Iren membungkusnya dengan uang kertas 20 ribu.

Semangat pak Umar makin meningkat, saat menerima bungkusan kecil terbuat dari uang kertas itu. Tiupan pluit nya pun lebih kencang, saat mengatur pengeluaran mobil Iren dari area parkir.

“Ok, Mas ya…kami pulang,” pamit Monika dan Iren.
“Sip, Mbak, ga ngantuk kan, hati-hati” balasku.

***
--bersambung-