Welcome to oye

Selamat membaca....

Minggu, 31 Juli 2011

ANTARA AKU, BUNG DAN WIL BUNG


ANTARA AKU, BUNG DAN WIL BUNG

Cerpen Yanuar Emra

Siapa yang tak kenal aku, hampir semua warga di kota ini mengenal ku, bahwa aku adalah seniman, pemain musik, seorang lelaki jelang empat puluh tahun. Berangkat kerja dimalam hari, pulang di dini hari dan ngorok di siang hari. Terkadang ada nada minor sampai ke telingaku, bahwa pola hidupku itu jelek. Tapi aku tetap berusaha bangga dengan diriku, bahwa aku masih mampu merangkai nada-nada di atas sebuah synthesizer, piano maupun keyboard. Harmoni yang terlahir dari rangkaian nada-nada itu kemudian kusuguhkan ke orang-orang. Mereka menikmati dengan senang dan cukup terhibur.

Terkadang hatiku miris, saat aku berangkat kerja, Dino putra sulungku, yang sudah kelas lima sekolah dasar itu berkata, “ Ayah, kalau ayah pulang nanti, bawa uang yang banyak ya, buat ditabung. Dino kan mau jadi pilot nanti”
“ Ayah, beliin Dancow ya, biar Dini jadi orang pintar dan sehat” Putriku kecilku yang masih balita juga tak mau kalah, “Kalau sudah gede nanti, Dini mau jadi astronot”

Dalam kebingungan aku hanya mengangguk, lalu kucium keduanya, ibunya juga. Lantas timbul pertanyaan dibenakku, kemana darah seniku mengalir di nadi mereka? Pilot dan astronot sebuah cita-cita yang tinggi, meski tak sepadan dengan kondisi finansial orang tua mereka, aku mesti senang karena kedua anakku punya cita-cita yang hebat. Tapi hal itu tak perlu kuanalisa lebih jauh, yang terpenting adalah bagaimana kedua anakku itu bisa tumbuh sehat. Karena kesehatan adalah segalanya. Aku percaya pepatah ‘men sanan in corporisano”

Akhir-akhir ini aku malu pada ibu anakku, jelas dia yang lebih tahu keadaanku, ketimbang warga di lingkungan RT-ku, bahwa aku memang sedikit frustasi dengan hidup ini. Aku juga menyeganinya, karena dia adalah istri yang tidak pernah mengeluh, walau tiap malam dia “sering kutinggal pergi”, tapi demi dia juga dan kedua sibuah hati, persis sindiran yang Pance Pondaah nyanyikan di stereo system, yang sedang diputar oleh ibu anakku itu.
Istriku tetap cantik dan manis diatas senyumnya yang peuh getir. Aku tambah kasihan dan berjanji akan tetap menyayanginya selamanya, asal dia tidak meminta “pulangkan saja aku pada ibuku”. Sehubungan dengan kondisi keuanganku yang kian tidak menentu akhir-akhir ini. Walau lagu dan musikku masih enak didengar dan dinikmati orang banyak, tetapi keluargaku terancam morat-marit, aku terhimpit masalah ekonomi yang berkepanjangan. Aku tak bisa juga kaya.

***
Siapa yang tak kenal Bung. Bung titik-titik nama Bung. Bintang Bung lagi cemerlang, roda Bung lagi diatas dan dewi fortuna sedang berpihak kepada Bung. Padahal baru satu kali masa Pelita (jika zaman ini masih orde baru) Bung duduk di kursi itu. Masih terang dibenakku, tujuh tahun silam…Bung masih menawar jasa ku yang sudah aku diskon, untuk memainkan sebuah keyboard di acara ulang tahun anak Bung yang ketujuh. Sekarang…jangan keyboard, grand piano pun yang harganya ratusan juta, sudah berdiri megah, di ruang utama rumah Bung yang super mewah.

Waktu begitu cepat bergulir, secepat kejayaan yang memburu Bung. Di daerah ini siapa yang tak kenal Bung. Keharuman nama Bung selalu menghiasi halaman dan kolom-kolom beberapa media masa.. Para insan pers selalu memburu profil Bung, karena Bung selalu ter-ekspos menjadi ketua dan selalu ketua dari berbagai induk organisasi. Bung benar-benar kesohor. Tidak saja pendapat Bung yang dihargai dan dipertimbangkan orang-orang, uangpun gampang Bung bagi-bagikan. Maka lengkaplah predikat yang tersematkan ke diri Bung; Bung adalah seorang pejabat, hartawan, dermawan dan juga sosialis.

Tapi aku heran dan ingin tahu juga ; ilmu apa yang Bung pakai dan teori apa yang Bung terapkan, sehingga karir Bung begitu cepat melambung, harta Bung sudah aman untuk tujuh turunan dan wanita Bung….?! Yang sah tentu satu, istri Bung tercinta. Tapi dengar desas-desus, Bung memiliki banyak wanita idaman lain. Entah ya atau tidak, aku tidak peduli dengan hal itu. Itu urusan Bung. Atau mungkin sekedar isu yang dilontarkan oleh lawan politik Bung. (Sekedar Bung tahu; bahwa politik itu kejam, lebih kejam dari pem-fitnah-an). Karena Bung ingin melambung lebih tinggi lagi, mengincar kursi kepala daerah yang basah.

Sementara aku sudah mencoba bertapa sebanyak tujuh kali purnama, di Batu cadas Riam Mangkikit, saat sungai Katingan surut. Namun aku belum juga bertemu dengan ide untuk menjadi orang tenar dan kaya cepat. Yang kudapat hanya sebuah kesimpulan, bahwa karir naik mendadak dan kaya cepat tidak ada dalam kamus pertapaan, kecuali berjiwa sebagai pemberani. Berani menghalalkan segala cara, nekad ber-KKN dan harus ikhlas berurusan dengan KPK dan bersedia pula sekamar dengan Bang napi.
Belum pernah ada seniman seperti aku yang kaya jika tidak berani pula, atau terjun ke dunia bisnis, entah itu halal maupun tidak. Tapi di zaman carut marut begini; jangankan yang halal, yang harampun sudah ada pelakunya. Aku semakin bingung. Juga belum pernah ada pejabat yang melarat. Pejabat dimanapun pasti punya harta berlipat, rumah bertingkat, mobil gengsi punya satu, mesti empat. Wanita idaman pasti istri tercinta, tapi WIL? Rahasia ! Bung tentu tersenyum.
Begitulah jika membandingkan aku dengan Bung. Sangat jauh bedanya. Biasanya orang yang sudah mencapai seperti Bung, akan alergi jika dibuat perbanding itu. Aku berharap bisa ketemu Bung, semoga Bung masih ingat aku yang menghibur keluarg Bung tujuh tahun lalu. Aku ingin berbisnis pula dengan Bung.

***

Untuk menarik perhatian Bung, Bung selalu kuistimewakan manakala Bung mencari dan menikmati hiburan malam di Executive Club, sebuah music room ternama di kota ini, tempat aku mengais hidup setiap malamnya. Kala Bung datang tanpa istri, meja VIP Bung pasti ready. Bung request lagu atau ingin menyanyi pula, selalu aku turuti. Bung minta ladies….dan seterusnya, pasti terkabul, karena Bung beruang, tentu bisa membeli dan mendapatkan apasaja.

Aku mulai tersandung masalah, manakala Bung menyukai dan mengembat Ririn, salah satu penyanyi andalanku. Hampir tujuh tahun pula aku bersama Ririn, berjuang di dunia malam, menghibur banyak orang, termasuk Bung. Kini Ririn mulai berani melawanku. Uang, janji, rayuan maut dan kebuayaan Bung membuat Ririn lemas dan pasrah dalam terkaman Bung.

Kini Ririn sering absent menyanyi, aku terancam PHK. Budi sang bos pemilik Club telah mengultimatumku; jika tidak bisa mengembalikan Ririn, maka Budi akan mencari pengganti kami. Sementara Yoyo, pacar nadi tiap pagi membangunkanku, minta pertanggungjawabanku, kenapa Ririn bisa sampai ke pelukan buaya (Bung maksudnya).

Maka berubahlah anggapanku terhadap Bung. Bung berduit tapi tak bernurani. Padahal Bung tahu kalau aku dan Ririn mesti bersatu untuk menghibur orang, juga untuk mengepulkan asap dapurku. Bung juga tahu kalau Ririn sudah punya Yoyo, kekasihnya. Status mereka yang masih pacaran, “semenit sebelum nikah milik bersama” benar-benar kesempatan bagi Bung untuk menghancurkan cinta kasih mereka.

Aku tidaklah siapa-siapa, Yoyo-pun hanya pegawai rendahan, Ririn punya hak atas dirinya dan duit Bung ternyata bisa berbuat apapun, termasuk membeli wanita.

***

            Aku mencoba refresh di sebuah warung tenda di alun-alun kota. Baru saja kunikmati sebotol soft drink, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Dari caller ID-nya, jelas itu adalah Ririn.
            “ Ada apa ?” tanyaku langsung.
            “Om dimana? Ririn balik bertanya.
            “ Biasa, Warung tenda Lasmini”
            “ Tunggu aku disana ya, om. Aku mau ngomong”

Tidak kujawab lagi dan kututup langsung pembicaraan di ponsel itu. Aku masih kesal dengan Ririn, tiba-tiba dia mau menemuiku. Ada apa gerangan…

            Kuangkat pantatku dari meja nomor sembilan itu, aku berniat pulang saja, karena Ririn belum juga muncul. Kepalaku makin pusing saja, disuruh menunggu saat hati sedang galau begini. Aku menuju kasir warung tenda itu, kubayar satu botol Coke dan dua potong tart. Tiba-tiba ponselku berdering lagi, rupanya Marijon, kawan lamaku.

            “ Hallo, Mar. Ada apa ni. Tumben nelpon?’ sapaku.
            “ Gini, Den…Aku minta tolong kamu, bawa Master Pop Daerah ini ke Jakarta, kamu urusin hingga tuntas dan cetak tahap awal 60.000 keping VCD dan 30.000 pita, gmana?”
            “ Ok, bos…dengan senang hati” jawabku.
            “ Kalo gitu, ntar malam kuantar Master-nya kerumahmu, sekalian tiket dan amplop selama kamu di Jakarta nanti. Aku mau kamu berangkat besok”
            “ Ok, siap bos…”

            Aku hampir tidak percaya, Marijon masih berani memberikan kepercayaan padaku. Tapi itulah jenis proyekku. Aku spesialis dan professional dibidang itu. Dari proyek tiu cukuplah buat mengepulkan asap dapur. Syukur-syukur album itu meledak nantinya, tentu aku juga diberi bonus oleh Marijon. Tapi, tentu saja tidak bisa membuat aku kaya.

            Beda sekali dengan proyek-proyek di beberapa perusahaan Bung, yang direkturnya adalah atas nama orang lain, yang nota bene adalah saudara, keponakan dan konco-konco Bung. Perusahaan-perusahan Bung harus dapat mega proyek, entah bagaimana cara, salah satunya tentu dengan suap dan kolusi. Yang disuap haus duit juga, maka makin mulus lah proyek-proyek Bung. Makanya kesempatan kaya lebih berpeluang pada orang-orang seperti Bung.

            Sementara proyekku hanya dibidang seni. Senang tidak senang, orang tetap saja berdendang dan bergoyang mendengar musiknya. Itu jelas tidak bersentuhan dengan KKN. Tapi kalau proyek Bung? Misal ; pembuatan infrastruktur jalan dan jembatan, serta pengadaan barang dan jasa di dinas-dinas di daerah ini, yang berdendang tentu hanya Bung, kontraktor, pimpro dan pejabat lain yang salaing main mata dengan Bung. Kemudian mereka bergoyang-goyang ke ibu kota atau ke negeri tetangga, melalui jalan dan jembatan yang baru saja di buat tapi sudah rusak lagi, atau mereka melayang di udara entah kemana dengan uang hasil KKN-nya, tanpa sedikitpun terkena imbas kenaikan harga BBM.

            “ Om !” Aku kaget. Ririn rupanya sudah berdiri di sampingku. Secepatnya aku berusaha tenang dan tidak menjawan sapaannya.
            “ Maafkan aku, om”
Aku tetap diam, sambil menuju scooter-ku.
            “ Om, please! Aku mau ngomong !”
            “ Kenapa baru sekarang mau ngomong? Kamu sudah dibuang Bung?!” tanyaku.
Sekarang justru Ririn yang terdiam.
            “ Sudah, aku mau pulang. Kalau mau ngomong kerumah saja!” kataku. Kuhidupkan scooterku, tapi aku lebih kaget lagi, karena Ririn masuk ke sebuah sedan yang masih ber-plat warna putih. Dia duduk di belakang kemudi lagi.
            “ Hebat kamu, ya” kataku lagi.
Aku tancap gas, kulihat di kaca spion, Ririn membuntutiku.

***
            Di rumah RSSS itu, kudapati kedua anakku sedang bermain play station. Sementara keyboard second yang sudah lama aku beli, tak pernah melantunkan nada dari jemari mereka.
            “ He..he..he, katanya anak ayah mau jadi pilot dan astronot, tapi kok doyan main pee s? Sudah belajar…PR-nya udah dikerjain ?”tanyaku seteleh mencium keduanya.
            “ Sudah kok ayah” jawab mereka serentak.
            “ Kalo gitu Dino dan Dini tidur aja lagi, besok sekolah kan?”
Mereka sangat patuh padaku. Lantas ibunya mengantar mereka ke kamar tidur.

            Selang semenit kemudian, Ririn datang. Dia memang sudah biasa datang, ngobrol, makan dan tidur dirumahku. Jadi dia tidak perlu dianggap sebagai tamu lagi.
            “ Sekedar kamu ketahui, aku sudah dipecat di Club itu, itu karena siapa?!” Aku langsung menghantam dia dengan pernyataan tersebut.
Ririn hanya tertunduk. Istriku keluar dari kamar anak-anak.
            “ Eh…Abang, kenapa marah-marah gitu sama Ririn?!”
            “ Ade nggak usah bela-belain dia, abang korban PHK, sementara dia…? Lihat tuh…kesini saja tidak pake ojek lagi, sedan baru !”
            “Maafkan aku, tante.” Tiba-tiba Ririn memburu istriku, dan jatuh di pelukan istriku.
            “ Huh..hati-hati, de ! Itu air mata akibat kebinalan dia” Aku terus menyerang Ririn dengan kata-kata, karena aku sangat geram.
            “ Abang…sudah ! Kasihan dia” Istriku tetap membela Ririn.
            “ Om! Silahkan om bilang aku apa. Tapi awalnya kukira Bung serius dan mau menikahiku. Kenyataannya…sekarang dia punya wanita yang lain lagi. Aku kecewa dan sakit hati. Aku benci Bung”
            “ Setimpal kok, kekecawaanmu kan sudah terobati dengan satu sedan baru, jadi impas saja. Sementara kekecewaan Yoyo, orang yang benar-benar tulus mencintaimu, kau buang begitu saja…akh entah lah. Yoyo benar-benar terpukul oleh perlakuanmu begini”
            “ Aku memang dibeliin mobil itu, satu apartemen di ibukota tempat kami sering menginap, terakhir sejumlah rupiah yang ditransfer ke rekeningku. Tapi itu semua seakan tidak berguna lagi”
            “ Lantas…kamu merasa harga diri lebih berguna?!” desakku.
            “ Aku minta tolong om, perbaiki hubungan ku dengan Yoyo. Aku ingin menikah dengan dia secepatnya. Aku mau jual semua property yang dibeliin Bung, kemudian aku serahkan ke om untuk memulai bisnis musik yang om rencanakan sejak dulu itu “
            “ Moh! Aku gak mau ! Itu hak kamu. Silahkan kamu saja yang membisniskan uang itu.”
            “ Ok, om. Tapi aku tetap ingin om dan tante bersamaku dalam pengelolaannya nanti”
            Aku dan istriku saling pandang. Dalam hatiku, hidup ini seharusnya tidak terlalu idealis. Munafik sedikit terkadang mesti dilakukan, agar tidak susah berkepanjangan.
            “ Satu syarat ! Jangan coba-coba termakan rayuan orang seperti Bung lagi”
            “ iya, om”
            “ Dan malam ini, kamu harus tidur disini. Aku sudah nggak punya jawaban lagi untuk Yoyo, karena setiap pagi dia kesini, selalu menanyakan kamu. Dia panik dan berniat akan menghabisi Bung. Kami harus bertemu dan bicara dengan Yoyo besok.”

                                                            ***

Tiga hari kemudian, di kawasan Roxi Mas, aku sedang sibuk-sibuknya mengikuti proses pengeditan album Pop Daerah milik Marijon. Aku tidak salah memilih studio “Tak Gentar Recording” ini, tim mereka sangat disiplin dan profesional di bidangnya.

Tiba-tiba ponselku berdenyut, aku lihat layarnya, rupanya sebuah nomor cantik, dan itu nomor Bung, karena persis yang kudapat dari Ririn beberapa minggu lalu.
“ Halo, apa kabar, bos” Aku menyapa Bung duluan.
“Den, aku lagi di Gedung Bundar ni. Rapat sedang diskor 30 menit, karena situasinya ricuh, banyak yanng adu interupsi, malah ada yang adu jotos juga..”
“Bung ga ikutan?’
“Ikut ngapaian”
“Adu jotosnya”
“Ahh..nggak lah, itu kan kesukaan anggota preman yang dikarbit menjadi anggota dewan” kata Bung.
“Benarkah?”
“Iya, aku kan berpendidikan tinggi, tentu terpelajar” Bung berbangga diri.
“Sempat nggak, Bung tadinya menyuarakan aspirasi masyarakat daerah kita, misal masalah jalan propinsi yang sudah tahunan rusak berat atau masalah pembajakan hak cipta?”
“Nah itu sedikit kesalahanku, Den. Aku lupa sebelumnya. Pas ingat, sidang mulai ricuh, jadi nggak sempat lagi. Tapi nanti kucoba sampaikan ke sidang terhormat itu”
“Ya, begitu Bung. Siapa lagi, mumpung Bung lagi di dewan itu”
“Yup, beres! Masalah kecil itu, Den” jawab Bung singkat.

            Kata Bung memang kecil, tapi orang kecil di daerah Bung seperti terkucil, di cuekin. Suara mereka bisa saja sampai ke meja sidang, tapi akan terkubur di dalam er-u-u, atau akan menjadi kabur dalam beberapa pasal undang-undang yang membingungkan. Akhirnya, suara orang kecil dikoleksi dan didengar saat orang-orang seperti Bung berkampanye saja, selanjutnya suara mereka itu hanya sebagai pesaing deru angin. Bung yang orang besar, yang memiliki peluang dan kesempatan untuk bicara, pada prakteknya hanya bersandiwara saja. Asal proyek Bung lancar, Bung tak malu-malu kepada masyarakat yang telah memberi amanat kepada Bung. Bung bermuluk-muluk di media masa, Bung berjanji gombal di depan kamera dan Bung munafik !

            “ Halo...halo, Den !”
            “ Ya..iya..” Aku agak sedikit kaget, “ Eh..ada apa ni, Bung tiba-tiba nelpon?”
            “ Begini, Den. Proyek penghijauan itu aku pemenangnya. Aku minta nomor rekeningmu. Sesuai proposal bisnis yang kamu tawarkan via Ririn tempo hari, aku tertarik sebenarnya. Kali ini kubuktikan dengan dana setengah em. Siang ini sekretarisku akan mentransfer dana itu ke rekeningmu”
            “ Jangan becanda, Bung. Proyek dua milyar, bisa untung setengah milyar?”
            “ Dana yang ku invest ke kamu bukan dari proyek itu. Aku yakin dan percaya padamu. Manfaatkanlah untuk usaha itu. Mudahan benar katamu, bahwa itu bisnis sekali inves untuk selamanya”
            “  Yang benar saja, Bung “
            “ Den, musibah mulai berubi-tubi menimpaku. Beberapa perusahaanku sudah ggak bisa lagi memenangkan tender. Karena KPK lagi ganas-ganas melancarkan aksinya. Kami perlu hati-hati. Bisnis membabat hutan juga tidak main lagi. Main kucing-kucingan dengan aparat tidak selamanya selamat. Dua hari lalu, empat tongkangku berisi ribuan kubik Ramin dan Ulin ku, kini diamankan aparat”
            “ Truss..?!”
            “ Kalau dihitung duitnya, kerugian yang kuderita lebih dari yang ku transfer ke rekeningmu”
            “ Apa aku bisa aman nantinya?”
            “ Dijamin. Urusan tongkang sudah selesai. Walau kayuku hilang, tambah lagi dana setengah em juga untuk nego “aman”. Dana proyek penghijauan tidak akan kuganggu. Aku janji dan benar-benar-benar melaksanakan proyek itu dengan benar, hitung-hitung balas budi kepada hutan, karena aku juga yang menggundulinya selama ini. Selanjutnya aku akan berkosentrasi di dunia politik saja”
            Entah ya entah tidak. Aku masih tidak percaya kalau Bung serius dan begitu saja mau mentransfer uang setengah em itu. Tapi aku tetap memberikan nomor rekeningku.
            “ Eh, Bung. Proyekku besok sudah kelar. Kemungkinan lusa aku pulang. Bung kapan pulang?
            “ Belum pasti ni. Sebenarnya sidang ini harus selesai hari ini juga. Tapi aku ingin beberapa hari lagi di ibukota ini. Ya cari angin dulu lah”
            “ Cari angin atau cari apa ni?!” candaku.
            “ Terserah saja. Aku lagi pusing ni, masalah terlalu menumpuk. Aku mau refreshing dulu” jawab Bung.
            “ Ok, deh Bung. Selamat bersenang-senang dengan wil Bung yang kemaren itu”
            “ Darimana kamu tahu, Den? Apa Ririn yang bilang?”
            “ Akh...nggak. Aku lihat sendiri kok. Kita kan satu pesawat pas berangkat kemaren itu”
            “ O, ya. Sorry ya. Aku nggak lihat kamu.”
            “ Nggak apa-apa. Aku orang kecil emang gak pantas terlihat”
            “ Jangan begitu lah, Den. Sekarang kamu jadi pelindungku. Aku minta kamu tidak cerita ke siapapun tentang aibku ini”
            “ Kalau aku tegaan, sudah dari dulu, Bung. Saat Ririn Bung embat. Aku punya banyak teman media. Tapi sekali lagi, aku nggak tega dan malah berdoa agar Bung cepat sadar. Kasihan istri dan anak-anak Bung”
            “ Ok, terima kasih. Aku percaya kamu. O, ya...nanti kedua anakku diajarin bermusik ya”
            “ Beres, bos”
            “ Tiketmu sudah ada?”
            “Sudah, aku sudah booking dari kemaren”
            “Kalau begitu, selamat jalan saja. Sukses ya”
            “ Ok, Bung. Cepat pulang ya”
            “ Yup”
            “ Daaah” Itulah omongan terakhirku dengan Bung.

***
             
            Seminggu kemudian, hatiku berbunga-bunga Rupanya Bung benar-benar nekad mentransfer lima ratus juta rupiah. Dana itu sudah mengendap selama lima hari di rekeningku. Tak seorangpun kuberitahu tentang itu. Anehnya Bung belum juga pulang dari Jakarta dan tidak pernah lagi menghubungiku.

            Sambil menunggu Bung pulang, aku tetap membantu Marijon untuk mengatur strategi pemasaran album yang abru datang siang ini. Malam ini kami mengadakan launching album itu di sebuah gedung. Sejumlah petinggi dan sesepuh adat di daerah ini diperkirakan akan hadir. Maklum, ketiga penyanyi dalam album itu adalah putra-putra pejabat semua. Tapi jangan salah, mereka memang memiliki vokal yang komersial. Aku diminta Marijon untuk membuka acara tersebut.

            Sebagian besar undangan sudah hadir. Semestinya gubernur juga sudah datang. Aku bingung, kenapa pak gub belum juga muncul. Para undangan yang sudah hadir mulai resah dan bertanya-tanya, kapan acara dimulai.
            Tiba-tiba ponselku berdenyut lagi...ternyata panggilan dari Marijon.
            “ Gubernur nggak bisa hadir, beliau mau ke Jakarta malam ini juga, sehubungan kecelakaan pesawat Seriti Air, jam setengah tujuh tadi. Pasangan anak dan menantu gubernur adalah penumpang pesawat naas itu. Jadi acara bisa saja dimulai, Pak Wali kan sudah datang”
            “ Ok, bos” jawabku.
            Tapi, baru beberapa langkah menuju podium, ponselku kembali berdenyut. Dalam kebingungan kujawab langsung panggilan itu.

            “ Selamat malam, ini benar pak Deni? Saudaranya pak Bung titik-titik?”
Aku tambah bingung. Mau menjawab apa dan ada apa ini, tanya hatiku.
            “halo..halo!” desak suara diseberang sana.
            “Halo, iya. Kenapa, buk?”
            “ Ini dari RSCM, pak Deni. Kami minta anda datang segera. Karena kondisinya sedang kritis, sehubungan kecelakan pesawat Seriti tadi. Dia terus-menerus menanyakan bapak dan meminta kami menghubungi bapak”
            “Siapa saja anggota keluarga yang sudah datang?”
            “ Belum ada satupun, pak”
            “ Istrinya?”
            “Tidak ada, hanya sekretaris beliau, yang sudah meninggal duluan. Bapak segera datang ya. Maaf..sambungan ini kami putus, karena kami harus menghubungi keluarga korban yang lain”
            “ Ok, terima kasih”

            Aku semakin bingung. Bagaimana aku seharusnya. Bagaimana pula dengan launching ini. Kenapa aku yang Bung minta datang. Ada apa dengan istri Bung, sehingga tidak menjenguk Bung. Kenapa justru sekretaris yang ada disamping Bung saat kecelakaan itu. Dan bagaimana dengan Marijon jika aku tinggal diawal pembukaan acara ini

            “Lo...lo....lo, kok belum dimulai juga?!” Aku kaget Marijon sudah berdiri di sampingku dan langsung menanyaiku.
            “ Mar, sehabis kami nelpon tadi, pihak RSCM dari Jakarta juga menelpon aku, rupanya dipesawat yang sama ada adik iparku yang hendak menuju kesini, sekarang keadaannya kritis...” Aku terpaksa berbohong ke Marijon.
            “ Lantas...?” tanya Marijon.
            Aku tidak tega menjawab atau berbohong lebih banyak lagi, karena Marijon adalah sosok teman yang sangat baik. Aku hanya terpaku didepannya.
            “ Sudah, kamu berangkat malam ini juga, ada penerbangan terakhir jam delapan ini, tapi aku tidak bisa mengantarmu ke bandara, jika kita pergi semua, siapa lagi yang membuka acara ini. Tamu-tamu sudah resah dari tadi. Kamu diantar sopir saja. Nyonya ikut juga?”
            Aku menggelengkan kepala dan bertanya, “ kamu marah, Mar?”
            “Nyonya-mu ikut nggak?” tanpa menjawab pertanyaanku, Marijon bertanya lagi,’ biar cepat kupesan tiket ni”
            “ Nggak...” jawab ku singkat.
           
Lantas Marijon menelepon biro perjalanan langganan dia. Aku bagai orang bego saja, menyaksikan semua perlakuan baik Marijon itu terhadapku.
            “ Kamu temui dibandara, Suratmin namanya, ini nomor Hpnya dan ini uang untuk menebus tiket yang barusan kupesan” kata Marijon sambil merogoh sakunya.
            “ Jangan...jangan, Mar ! aku menolaknya, “ yang kamu kasih tempo hari masih ada kok”
            “ Sudah, cepat aja kamu berangkat” paksa Marijon sambil memasukkan beberapa lembar uang kertas Rp.100 ribu ke kantong batikkku, “ Aku mau buka acara ni”
            “ Duh...terima kasih banyak, Mar”

            Sebelumnya aku tidak pernah membohongi Marijon, tapi demi seorang Bung yang sedang kritis, aku telah menodai persahabatan ini. Kalau tidak dengan cara itu, tentu Marijon tidak akan memberi ijin. Tapi aku bertekad bahwa itu adalah noda pertama dan terakhir diantara persahabatan kami.

***

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, pukul setengah dua belas malam. Aku buru-buru menuju ruang informasi.
“ Selamat malam, mbak” sapaku pada suster jaga itu.
“ Malam, ada yang bisa saya bantu, pak?”
“ Saya saudaranya Bung...”
“Maaf, pak. Sudah terlambat, beliau sudah pergi...” potong suster itu.

Langkahku terasa lalu. Pandanganku menerawang keseluruh ruang rumah sakit itu. Aku telah berusaha secepatnya menemui Bung, tapi apa daya Yang Maha Kuasa lebih cepat lagi ingin bertemu Bung.
“ Almarhum meminta kami untuk menyampaikan wasiat ini kepada pak Deni, agar bapak ikut membantu dan memperhatikan Rina dan Riko, dua anak almarhum hingga dewasa nanti”
“Lantas, pesan untuk istri Bung?”
“ Nah, itu yang kami heran. Bung sama sekali tidak bicara tentang istrinya”

Aku kira tidak mungkin istri Bung belum tahu, hampir seluruh televisi nasional secara terus menerus menyiarkan berita naas itu. Namun istri Bung belum juga muncul di rumah sakit ini. Aku hanya menduga, ada problem keluarga yang serius antara Bung dan istri. Walaupun Bung berusaha menyembunyikan kepergian itu, tapi pepatah lama menunjukkn kebenarannya. Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat pasti terjatuh juga. Bung benar-benar pergi selama-lamanya, bersama sekretaris Bung. Bung telah mengukir sebuah cinta terselubung, yang benar-benar sehidup semati.  Telah bersama hidup meski sebentar dan sama-sama pula mati.
Aku bisa saja menutupi permasalahan sekarang ini. Tapi tidak bisa selamanya. Ibarat pepatah lagi; Sesuatu yang busuk itu, suatu saat pasti tercium juga.
“ Maaf, pak” tiba-tiba kepala perawat di rumah sakit itu mendatangiku,” Apakah bapak ahli warisnya Bung...”
“ Tidak...tidak. Saya hanya teman satu daerah dan kebetulan saja sedang berada di sini” jawabku berbohong lagi.
“ Tapi saya punya nomor telepon rumah almarhum. Mudahan suster bisa bicara dengan istrinya”

Bukan apa-apa, tapi aku memang tidak berhak untuk mengaku-aku sebagai ahli waris. Bukan pula tidak mau membantu, aku tidak mau sok jadi pahlawan, aku tidak mau mendahului istri Bung yang memang berhak untuk itu. Perihal soal dana yang sudah mengendap di rekeningku, itu lain kisahnya. Aku berjanji tidak akan menyelewengkannya, lagian aku sudah memikul beban baru atas wasiat Bung. Rina dan Riko, dua anak Bung,  akan kucoba menyatukan mereka dengan kedua anakku; Dino dan Dina. (tamat).


           
           

Teroris ?! oleh Yanuar Emra

 
Aku gagal bernegosiasi dengan kepala polda di daerahku. Jangankan nego, menginjakkan kaki dimarkasnyapun, aku  diusir oleh beberapa orang berpakaian sipil, tegap dan berambut cepak, yang akhirnya kuketahui, mereka adalah anggota “det-ant-ror delapan delapan”. Sementara seorang lelaki berusia 70 tahun, yang entah bagaimana keadaannya, aku tidak bisa dan tidak diperbolehkan tahu. Dia sudah tiga hari tiga malam dimarkas polda tersebut. Lelaki itu adalah ayahku. Aku dan anggota keluarga yang lain di isolasi melihat beliau
Aku tak peduli lagi tentang arti keadilan menurut orang lain. Aku akan mengertikan sendiri keadilan itu. Kukira sebagian besar orang dibumi pertiwi ini, belum tentu menilai minor terhadap keadilan versi ku  itu.
Di ibukota ini  aku juga gagal mencari definisi “teroris” di dua kedubes asing, Dimana kedua kedubes tersebut lagi naik daun dan sedang unjuk gigi memerangi terorisme. Aku tentu bakal dijadikan tersangka juga, bila nekad menembus ketat pengamanan aparat disana. Sepertinya  mereka saja yang peduli terhadap kasus tersebut. Apa mereka menganggap negaraku, tempat mereka numpang ngantor, tidak serius terhadap terorisme ? Akh…! Entahlah ! Itu bukan urusanku !
Yang perlu kuurus adalah bagaimana membebaskan ayahku secepat mungkin, walau aku yakin, gerakku tak secepat aparat “mengambil” ayahku. Ayahku tak semestinya diinapkan disana. Beliau sudah tua dan aku kasihan beliau. Aku belum sempat berbakti kepada beliau. Aku belum sempat menyenangkan dan membahagiakan orang tua. Walau usiaku sudah menuju kepala empat, keadaanku masih carut marut, sama dengan kondisi ibu pertiwi ini. Aku terimbas multikrisis yang diderita negeri ini.
Kupikir sekaranglah saatnya aku perlu unjuk gigi untuk membebaskan ayahku. Seberapa kuat orang asing tersebut unjuk gigi memerangi terorisme sesuai versi mereka, sebegitu pulalah aku akan unjuk gigi membela ayahku. Ayahku bukan teroris, juga bukan dalam link and range teroris. Aku tahu persis itu. Karena aku anaknya.

***

Hampir setengah jam aku duduk dibawah sebatang mahoni disekitar monas ini. Aku tahu, beberapa pasang mata tengah memata-matai aku. Tentu mereka juga kaki tangannya kepala polda di ibukota ini. Karena areal ini adalah wilayah sekitar istana, tempat ngantornya orang nomor satu di pertiwi ini. Dan memang, istana itu adalah targetku yang paling terakhir. Aku harus berhasil kali ini.
Aku mengangkat pantatku. Kuhitung langkah demi langkah yang kuayunkan, sambil melontarkan dua kata, “ masuk….tidak….masuk…tidak…masuk !!!” ke istana itu. Baru saja beberapa langkah kaki kuayunkan, dua orang pemilik mata yang memata-mataiku itu langsung bertindak.
“Selamat siang, pak” sapa mereka tegas.
“Siang…, ada apa, kenapa emanng dan anda siapa ?” sebelum mereka bertanya aku memberhakkan diri bertanya duluan.
“Maaf, pak. Mengganggu perjalanan anda” jawab mereka sambil mengeluarkan identitas.
Sudah kutebak dari tadi dan ternyata mereka memang aparat keamanan sekitar istana. Mereka orang-orangnya paspampres.
            “Maaf pak, boleh kami….?”
            “Ooo…tenang…saya ngerti” Aku potong pertanyaan mereka, sambil mengeluarkan identitasku juga.
            “Pak Yanki Emendra…” salah satu diantara mereka menyebut namaku, sambil terus menatapku tajam dari atas sampai bawah.
            “ Panggil Yanki saja” kataku sambil menyodorkan salam kenal dengan mereka
            “Tujuan kemana, pak Yanki?”
            “Ke istana !” jawabku singkat
            “ Keperluan ?”
            “ Anda ikut saja, biar tahu sekalian” jawabku lagi.
Suasana agak memanas sedikit, karena mereka sudah berniat menghalangiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan itu.
            “Maaf lagi, pak…” ujar yang satunya, “Anda terpaksa kami bawa dulu ke pos”
            “Ok, asal sehabis itu anda tidak menghalangi saya lagi”
Aku diapit oleh kedua orang itu, terus digiring ke pos keamanan, dibilangan jalan Medan Merdeka itu.


Di posko itu, aku habis-habisan dihujani aneka pertanyaan oleh mereka. Aku berusaha mengendalikan emosi, saat pertanyaan mereka sudah tak relefan lagi.
            “Anda semua puas ?” tanyaku dengan nada sedikit meninggi.
            “Sori, pak Yanki. Kami mesti periksa tas kecil anda ini “
            “ Yup, silahkan “
Bagiku tidak masalah, karena aku bukan pemakai dan pengedar narkoba. Tas itu bukan untuk membawa benda-benda haram itu. Juga bukan untuk membawa senpi dan sajam, apalagi untuk membawa bom. Karena aku tak punya pengetahuan dan kemampuan merakit bom. Kalaupun terpaksa, aku hanya bisa mem-bom dua angka togel, itupun kalau dapat mimpi bagus.
Tas tersebut hanya berisikan satu keping disc dokumentasi keluarga besarku, satu buku kecil dan satu pena. Itu kuanggap sama dengan satu orang pengacara, karena aku tak punya se-tas duit untuk menyewa pengacara. Jadi , aku dan tas itu lah yang akan bertindak sebagai pembela ayahku.
            “Ini disc apa, pak Yan?” tanya mereka lagi
            “Anda mau tahu juga, silahkan putar sendiri !” jawabku
Memang dasarnya mereka mau tahu dan memang perlu tahu, disc tersebut di playback pada sebuah VCD player yang memang stand by di depan mereka dengan tv 21 inchi.
            “ Lo, itu disc apa, mas ?” tanyaku juga, saat melihat ada disc dengan cover “xxx” yang masih nginap di player itu.
            “ He…he…he, biasa lah, pak.” Jawab mereka.
Aku bisa maklum, karena mereka masih muda-muda. VCD yang mereka gemborkan terlarang, itupun terkadang mereka butuhkan. Tapi itu juga bukan urusanku. Yang terpenting jangan sampai ada berita mengenaskan; bahwa ada aparat ditangkap aparat karena nonton vcd porno rame-rame. Itu tentu sangat memalukan.
Aku terpaksa bersabar lagi, menunggu mereka “melidik” dokumentasi keluargaku itu.
Aku sudah bosan menonton dokumentasi itu. Isinya tidak pernah ada perubahan. Diawali dengan klip ayah dan ibuku plus sedikit aktifitas keseharian mereka, trus… dilanjutkan dengan klip aku sendiri sebagai anak sulung, anak dan istriku, trus lagi…klip adik-adikku dan semua ponakanku.
“Lo…lo…, ini kan si Reza….Reza Emendra” teriak salah satu diantaranya,       ‘ Ya, dia kan lagi ngepam di istana sekarang “ imbuh yang satunya.
“ Ya, seratus buat anda. Dia adik saya nomer empat”
Mereka semua saling pandang, terus memandangiku juga, sambil melanjutkan nonton disc tersebut.
“Maaf, mas ya…. Saya buru-buru!” tanpa permisi lagi, kukeluarkan disc tersebut dari playernya.
“Tujuan saya ke istana, pertama ingin menampar si Reza, teman anda itu. Kedua ingin menemui tuan Presiden, meminta keadilan yang sesungguhnya !”
Mereka semakin bingung. Aku terus saja mengemasi disc itu. Dan siap-siap meninggalkan mereka.
“ Dan sekarang jangan halangi saya lagi” kataku tegas, “ Permisi !”
“ Pak…pak…” teriak mereka.
Aku tak peduli lagi dengan teriakan mereka. Aku juga tak peduli, apa mereka mau melepaskan tembakan dengan beceng yang stand by dipinggang mereka masing-masing. Kemenangan sedikit saja, ini adalah zaman reformasi dan demokrasi yang kebablasan. Tentu aku juga punya hak dalam orde ini. Mustahil mereka masih betah menjalankan program JPS-M, seperti di orde sebelum ini. (JPS-M versiku Jemput Paksa Siksa, lalu Mati)
Aku tinggalkan mereka di pos itu, tapi dua orang yang menggiringku tadi, tetap membuntutiku.
***
Istana begitu tegar dan kokohnya di depanku. Dia semakin kuat dan aman karena ada pagar betis aparat ber pe-de-el lengkap sepucuk AK-47 ditangan mereka. Itu baru sebagian dari paspampres yang berada di ring satu. Tentu ada personil lain yang berada di ring dua dan ring pamungkas, yakni ring tiga. Jika mereka menganggapku teroris, maka sesuai prosedur tetap keamanan istana, aku akan digeladah dan di-interograsi di ring satu. Jika aku memaksakan diri dan lolos di ring satu, tentu aku akan diterjang oleh aneka peluru karet, atau mungkin juga dengan peluru tajam. Jika aku masih ngotot dan belum juga lumpuh, pastilah aku akan di eksekusi mati di ring tiga. Akan tetapi aku bukanlah teroris.
“Berhenti ditempat !!!” Tangan keatas !!!” gertak salah satu anggota paspampres itu. Aku santai saja, sambil terus menerobos ring satu. Aku benar-benar tak peduli, walaupun moncong beberapa AK-47 sudah mengarah ke kaki, jantung dan kepalaku.
Langkahku baru bisa berhenti, saat salah seorang danru mereka melompat kearahku. Dia langsung menggeranyangiku dari atas sampai bawah. Truss…dia mempreteli seluruh isi tas ku. Aku mesti bersyukur, karena dua orang yang membuntuti aku tadi, memberi kode yang entah apa maksudnya, yang jelas tasku dikembalikan.
Dengan peluang itu, tanpa menghiraukan ring satu dan ring dua lagi, emosiku semakin memuncak. Aku terus melangkah menuju ring tiga, yang persis berada di lobi istana itu. Dan ….plak…plak…plak ! tanpa ba-bi-bu  aku langsung menampar salah seorang anggota paspampres di ring tiga itu.
“ Kau adik yang tak berguna ! Kau juga anak yang durhaka !”
“ Siap !!! Aku salah, kak”
“ Apanya yang siap ! Aku bukan komandanmu !”
Tidak puas dengan itu, tanganku melayang lagi ke kepalanya, walau berhasil ditangkisnya.
“ Maafkan aku, kak. Sampaikan juga maafku pada ayah”
“ Kau berharga dimata negara, tapi tidak dimataku, juga tidak dimata keluarga”
Belum puas juga, satu tendangan kaki kananku mendarat diperutnya. Aku tahu, tamparan dan tendanganku tentu tak berarti apa-apa bagi Reza, karena tamparan dan tendangan komandannya tentu lebih dahsyat lagi, manakala anak buahnya bersalah sedikit saja.
Reza sudah tidak dalam posisi  siap ditempat lagi. Dititipkannya AK-47 itu ke teman di sampingnya, lantas dia menghadap danru-nya.
            “Izin komandan…” katanya sambil memberi hormat kepada salah seorang anggota berpangkat lebih tinggi di istana tersebut. Lantas Reza langsung memburu dan mendekapku.
“Maafkan aku, kak. Aku bukannya nggak peduli ayah. Sejak mendengar berita tentang ayah, aku nggak konsen lagi disini, pikiranku terus ke ayah, terkadang mau kutodongkan saja senjata ini ke kepalaku sendiri. Aku tak dapat izin, kak….jadi maafkan, aku…”
Sesaat aku hanya terdiam dan terpaku ditempat, karena sudah sangat lama aku tidak melihat dia menangis. Kini, bahu kiriku basah oleh tetesan air matanya.
            “Kau kan tahu siapa ayah, sementara kau tak lebih jauh sejengkal dari presiden”
            “Aku tahu maksud kakak,” kata Reza lagi sambil melepaskan rangkulannya.
            “Tentu aku tahu ayah, karena aku anak beliau. Karena itu juga aku sudah beberapa kali di panggil atasan. O, ya…untuk bicara dengan presiden, itu sesuatu yang tidak mungkin kak. Pangkatku masih dibawah. Lagian bintang satupun, belum tentu bebas ngomong dengan presiden”
            ”Ya…sudah. Tujuan keduaku kesini, mau bertemu presiden !” kataku
Aku menebar pandangan kekiri dan kekanan.  Ada sedikit rasa malu di hatiku, karena puluhan anggota paspampres dan staff istana, terpana melihat kami.
            “He, Za…dimana ruang presiden ?!” tanyaku pada Reza
            “Akh…sudahlah, kak. Bikin malu saja”
            “Dimana !!!” hardikku.
            “Siap, didalam sana!”
Dengan tas kecil ditangan dan kubuang rasa maluku sesaat, lantas kutuju ruang itu.
            “Wow…wow, luar biasa dengan sandiwara yang saudara bawakan tadi”
Tiba-tiba seseorang yang duduk di lobi itu berdiri dan mendekati aku.
            “Pak Yanki Emendra ya….?” Tanya orang itu sambil menyodorkan salam kenalnya.
            “Iya pak, Pak Andri Malenggang Kangkung ya ?” aku balik bertanya.
Siapa yang nggak kenal dengan orang itu. Bekas komentator, juga seorang kritikus handal dan presenter dibeberapa stasiun tv. Utamanya ibu-ibu muda, sangat mendambakan kehadirannya di layar kaca untuk sekedar melihat kumisnya yang tebal. Dia lah yang diambil  oleh tuan presiden sebagai jurubicara sekarang ini.
            “Silahkan duduk, pak”
            “Terima kasih” ujarku, “ Dulu sebelum anda duduk dikursi empuk itu, saya termasuk orang yang mengagumi anda, karena setiap anda tampil di media, anda selalu pintar berdebat dan memperdebatkan masalah orang kecil”
            “Akh, pak Yanki, bisa aja”
            “Benar lo. Pak. Tapi selama setahun ini, suara anda jarang sekali terdengar, anda pun sepertinya sudah tak minat lagi bicara tentang orang kecil”
            “Nggak juga” katanya sambil sesekali memainkan kumis.
            “O, ya pak Yanki. Tuan Presiden lagi berada di kota Nantacinto, di daerah asal anda sendiri. Beliau sedang membahas masalah terorisme dengan sejumlah mentri terkait dan para petinggi tentara dan polisi”
            “Aduh…pak. Kecewa lagi dong saya”
            “Terus terang saja, kami sudah tahu masalah yang menimpa ayah anda. Kami sudah beberapa kali meminta keterangan dari Reza, adik anda itu. Jika memang tidak terbukti bersalah, dalam waktu dekat ayah anda tentu di bebaskan. Proses penyelidikan masih berjalan”.
            “Anda tentu bisa tenang duduk dikursi itu, sementara saya merasakanada duri dikursi yang saya duduki ini. Ayah saya tentu menderita lahir batin di tahanan tersebut”
            “Lantas, mau anda ?!”
            “Saya kesini mencari keadilan. Walaupun keadilan yang sebenarnya hanya ada di Tuhan, tapi tentu pihak disini bisa memainkan peran. Seperti halnya beberapa kasus besar terdahulu, yang nggak jelas ujung pangkalnya, tentu orang-orang seperti anda juga bisa ! membebaskan ayah saya yang benar-benar tidak bersalah. Ayah saya tidak terjangkau politik. Beliau juga tak minat bicara Amerika, Australia dan sejenisnya. Jadi kalian salah besar menahannya. Anda mungkin juga pura-pura tidak tahu, bahwa ledakan itu bukan pekerjaan orang seumuran ayah saya. Tapi karena desakan politik dan pekerjaan penjahat berdasi, beking, intervensi negara asing dan lain-lain, maka yang benar harus dikatakan salah dan sebaliknya”
            “Tidak begitu, pak,” sela pak Kangkung, ”Pertiwi ini negara hukum, terlepas dari ayah anda terlibat atau tidak, tolonglah hormati proses hukum yang sedang berjalan”
            “Benar atau tidaknya apa yang anda katakan itu, saya memakluminya. Karena anda adalah peran pendamping, bukan aktor utama dalam sandiwara ini. Anda bukan pembuat keputusan, tapi orang-orang seperti anda bisa dapat mempengaruhi suatu keputusan”.
“Itu persepsi bapak yang salah, pak”
“Dan sangat memalukan, jika mesti mendatangkan tim dari Puslabfor dalam dan luar negeri. Sandiwaranya jadi nggak cantik, malah bikin bahan ketawa orang-orang seperti saya yang anda kira bodoh ini. Saya tegaskan lagi, bahwa yang meledak itu bukan bom, tetapi gudang penimbunan BBM milik seorang penjahat berdasi yang bermain mata dengan aparat. Saya menganggap mereka sama saja dengan beberapa ekor kambing dan sapi yang jadi korban ledakan itu, karena kandang mereka memang berdekatan dengan sumber ledakan. Seharusnya penjahat berdasi itu juga mati bersama kambing dan sapi itu di tempat kejadian perkara. Tapi gimana lagi, si penjahat masih berkeliaran dan tetap bisa bernafas lega. Ada apa ini, pak Kangkung?”
 “Itu yang sedang diselidiki, pak”
            “Tapi tidak adil dong, ayah saya yang ditangkap. Ayah saya sudah tua. Benar, dia masih bisa  menghimbau, memberi saran dan menyirami rohani orang-orang, tapi itu  sebatas ajakan untuk berjalan dan berbuat di jalan-Nya. Beliau tidak menghasut, karena itu akan bertentangan dengan keyakinannya juga berlawanan dengan ucapan yang dilontarkan ke orang-orang. Jadi sangat mengada-ada jika beliau dihubung-hubungkan dengan teroris. Untuk anda ketahui juga, bahwa kakek dari kakek saya dulunya, jauh sebelum gedung we-te-se hancur, juga berpredikat seperti ayah saya sekarang ini. Jadi, kami keturunan baik-baik”

***
            Tiga hari kemudian, di kota Nantacinto, aku sudah diperbolehkan menjenguk ayahku. Tapi tetap saja harus melalui barikade aparat yang berlapis.
Setelah ayahku selesai melaksanakan salah satu kewajiban lima waktunya, aku langsung memburu beliau. Aku bersembah sujud di depannya, lalu kupeluk dan kucium beliau dengan batin yang tersiksa.
            “Maafkan saya, ayah” pintaku.
            “Kamu tidak bersalah, Reza juga tidak bersalah, kenapa kamu berlaku kasar padanya ?!”
Aku kaget. Kenapa ayah bisa tahu. Aku sempat mengira-ngira, apa disebabkan kejernihan hati beliau, sehingga kontak-bathinnya dengan kami, anak-anaknya  mudah tersambung. Ayahku bisa mengetahui peristiwa di istana itu. Atau mungkin juga karena kecanggihan teknologi terkini, sehingga informasi cepat sampai ke beliau.
            “Sudah…sudah, aku baik-baik saja disini. Mereka memperlakukan dengan sangat baik dan sopan sekali. Dan aku akan pulang hari ini”
            “Ah…yang benar, yah?!”
            “Lihat saja nanti”
Aku bingung, kenapa ayah bisa ngomong begitu. Padahal di pos penjagaan depan sana, tanda-tanda penyelidikan selesai masih simpang siur.
            “Selamat siang, pak” tiba-tiba seorang aparat mendatangiku.
            “Yak, selamat siang”
            “Anda diminta datang ke ruang komandan”
            “Ada apa lagi?” tanyaku semakin heran
            “Sudah…cepat kamu kesana!” perintah ayahku
            “Ada tiga orang dari pusat perlu bertemu anda” kata anggota tadi.
            “Ok. Saya tinggal ayah sebentar ya”
Dengan penuh penasaran dan tergesa-gesa aku menuju ruang  kepala polda, diiringi oleh beberapa orang anggotanya dibelakangku.
            “Selamat siang, pak” sapaku kepada komandan itu.
            “Siang, silahkan duduk” jawab komandan ramah
Aku semakin heran, selain komandan, ada tiga orang lagi yang katanya mau bertemu denganku.
            “Ada apa, pak komandan?”
            “Pertama, ayah anda dibebaskan tanpa syarat hari ini. Saya minta tanda tangan anda untuk menyertai surat pembebasan ini”
            “Ya, terima kasih. Lantas bagaimana dengan nama baik ayah dan keluarga saya yang sudah dikotori oleh kejadian ini?!”
            “Tenang, pak. Sesuai perintah dari pusat, maka kami sudah menyiapkan agenda pembersihan dan rehabilitasi nama ayah dan keluarga besar anda tersebut. Berdasarkan instruksi dari istana, beberapa stasiun tv sudah siap untuk melakukan itu. Jadi, anda jangan cemas”
            “Ok. Terima kasih” jawabku, “Lantas saudara yang bertiga ini punya maksud apa lagi menemui saya?”
            “Kenalkan…..saya Daramabih”, sesuai namanya pasti anak pertiwi juga. Dia memperkenalkan diri pada saya, sambil membenarkan kartu identitas yang tersemat di saku kirinya. Dia seorang agen dari BIN.
            “Saya ….John McCuldy dan teman saya ini George Winstone”
Nah, yang dua ini, dari nama dan wajah, walaupun bisa berbahasa Pertiwi, pastilah mereka orang asing. Dan lebih jelas lagi, setelah keduanya memperlihatkan indentias. Mereka juga anggota mata-mata dari si-ai-e.
            “So, what….?” tanyaku.
            “ Kami orang di utus khusus untuk  menyampaikan langsung sebuah paket dan kenang-kenangan kepada anda. Email yang anda kirim ke presiden kami, mendapat tanggapan positif dari beliau. Dan terimalah ini, sebagai bentuk rasa hormat dan terima kasih dari beliau”
            John McCuldy mengalungkan sebuah medali perdamaian yang sudah dibubuhi dengan tanda tangan yu-es-e president. Kemudian Winstone menyerahkan sebuah paket kecil kepadaku.
            “Silahkan dibuka sekarang” pinta Winstone.
            Aku terkejut. Isi paket tersebut rupanya lembaran-lembaran uang kertas yu-es dollar, yang sudah tersusun rapi dalam beberapa ikatan.
            “Apa-apaan ini?!” tanyaku semakin heran.
            “Jumlahnya lima puluh ribu, pak. Mungkin dapat dipergunakan untuk pengembangan umat, saudara-saudara muslim kami di daerah bapak”, terang mereka.
            “Ok, saya terima. Thanks. Tapi tolong hormati juga pertiwi saya. Anda “si-ai-e” disini ACI, Aku Cinta Indonesia. Jadi tolong rupiahkan saja.”
            “Siap…kami laksanakan”
Sementara orang dari BIN dan dua bule itu pergi ke money changer, aku berikan tanda tangan sesuai permintaan komandan tadi. Lalu aku buru-buru ke tempat ayahku.
Pintu sel itu sudah tak berkunci lagi. Orang-orang begitu ramainya mengunjungi ayahku. Beliau dikelilingi oleh orang-orang yang mengaku pernah ber”guru” pada ayahku.
“Benar, yah. Ayah pulang sekarang” kataku pada ayah, yang memang sudah berbenah mau pulang.
Didepan markas polda tersebut, kru beberapa media cetak dan elektronik, dalam dan luar negeri sangat ramai. Maklum kasus-kasus seperti ini merupakan sumber berita yang lagi laku-lakunya dipasaran. Tapi aku tahu persis, ayah pasti tadak mau berkomentar di depan kamera dan lensa.
“Maaf ya, teman-teman wartawan. Tidak ada bahan berita untuk tv dan koran anda. Yang pasti anda telah salah menayangkan sosok teroris seperti orang tua ini. Dia bukan teroris ! Permisi…Kami mau pulang !” kataku di keramaian wartawan itu.
Kerumunan orang-orang itu berhasil di sisir oleh tiga temanku tadi, dibantu oleh beberapa anak buah komandan. Ayahku dituntun ke sebuah Mercy yang terparkir tak jauh di markas polda itu. Entah milik siapa mobil itu.
Wow, rupanya McCuldy mengambil posisi dibelakang setir, Daramabih disampingnya sebagai navigator. Sementara Winstone, aku dan ayah dibangku belakang mereka.
“Kami akan mengantar anda pulang”
Thanks
McCuldy dipandu Daramabih tancap gas. Sesekali aku memandangi ayah. Karena aku bermaksud mengajak beliau bicara, tapi mulutnya masih saja komat-kamit, sementara tasbih ditangannya terus menerus dipermainkan jarinya.
“O,ya pak Yanki…jumlah rupiah hasil konversi yu-es dollar tadi adalah setengah milyar. Ini uangnya. Silahkan diterima” ujar Winstone.
“Sudah dipotong komisi?” tanyaku dengan sedikit bercanda.
“oh…no. No, Thanks. Presiden kami melarang menyunatnya” jawab Winstone
“Ok. Terima kasih, sekali lagi”

Yu-es-e President yang terhormat…
Hampir seluruh negeri di planet ini mengakui kepemimpinan dan keberadaan negeri anda. Apalagi sejak anda mendengungkan ajakan, strategi dan kebijakan ber”perang” dengan senjata pemusnah massal dan terorisme. Menjadikan anda top of the top di era milenium ini.
Yu-es-e President…., anda menyatakan perang dengan terorisme. Presiden di negeriku, Pertiwi Tercinta juga begitu. Sementara jika aku bertemu dengan teroris yang benar-benar teroris, maka aku tak perlu di hadiahi sepuluh juta yu-es dollar. Aku akan ikhlas memultilasi teroris benaran itu menjadi 6666 potongan, karena  anda benar-benar telah disibukkan olehnya. Aku juga benci teroris,  tuan Presiden.
Hampir semua penduduk bumi mengenal anda, termasuk anakku yang berumur tujuh tahun pun sudah mengenal anda. Walau anda berada dibelahan sana, teknologi telah membantu memperkenalkan anda pada anakku itu.
Hanya saja ayahku yang sudah tujuhpuluh tahun, mungkin tidak mengenal dan tidak punya keinginan mengenal anda. Ayahku justru telah mengisolasi diri terhadap urusan duniawi. Termasuk seruan anda “mari perangi teroris” juga tidak akan pernah sampai ketelinganya. Ayahku hanya mendengar seruan Tuhan, yang wajib baginya untuk dilaksanakan. Agama adalah jalan kedamaian dan keselamatan baginya, baik di dunia maupun di akhirat.
Jika bukan anda, tentu ayah anda juga tak jauh beda dengan ayahku. Pandangan ayah anda terhadap seruan Tuhan dan agama tentulah sama. Kalaupun beda-beda dikit, itu biasa. Asal anda ingat sejarah saja, bahwa kita penghuni planet ini sama-sama anak cucu Adam. Maka seharusnyalah, karena satu nenek moyang, cucunya dilarang saling bunuh-membunuh atau bom-membom.
Sekarang saya minta peran anda untuk membebaskan ayah saya, karena beliau bukan target anda. Semoga para agen yang anda tebar diseluruh negara, termasuk dinegaraku, dapat membedakan ; mana yang teroris dan mana yang bukan !
Itulah isi surat yang kukirimkan ke email pribadi yu-es-e president, sesaat setelah aku gagal menemui presidenku sendiri, diistananya beberapa hari lalu. Tamat

TERORIS hanyalah cerita fiksi belaka. Maaf jika ada kemiripan nama dan kisah.
Kritik dan Saran dapat disampaikan ke  yanuar.emra@yahoo.com