Welcome to oye

Selamat membaca....

Minggu, 31 Juli 2011

Teroris ?! oleh Yanuar Emra

 
Aku gagal bernegosiasi dengan kepala polda di daerahku. Jangankan nego, menginjakkan kaki dimarkasnyapun, aku  diusir oleh beberapa orang berpakaian sipil, tegap dan berambut cepak, yang akhirnya kuketahui, mereka adalah anggota “det-ant-ror delapan delapan”. Sementara seorang lelaki berusia 70 tahun, yang entah bagaimana keadaannya, aku tidak bisa dan tidak diperbolehkan tahu. Dia sudah tiga hari tiga malam dimarkas polda tersebut. Lelaki itu adalah ayahku. Aku dan anggota keluarga yang lain di isolasi melihat beliau
Aku tak peduli lagi tentang arti keadilan menurut orang lain. Aku akan mengertikan sendiri keadilan itu. Kukira sebagian besar orang dibumi pertiwi ini, belum tentu menilai minor terhadap keadilan versi ku  itu.
Di ibukota ini  aku juga gagal mencari definisi “teroris” di dua kedubes asing, Dimana kedua kedubes tersebut lagi naik daun dan sedang unjuk gigi memerangi terorisme. Aku tentu bakal dijadikan tersangka juga, bila nekad menembus ketat pengamanan aparat disana. Sepertinya  mereka saja yang peduli terhadap kasus tersebut. Apa mereka menganggap negaraku, tempat mereka numpang ngantor, tidak serius terhadap terorisme ? Akh…! Entahlah ! Itu bukan urusanku !
Yang perlu kuurus adalah bagaimana membebaskan ayahku secepat mungkin, walau aku yakin, gerakku tak secepat aparat “mengambil” ayahku. Ayahku tak semestinya diinapkan disana. Beliau sudah tua dan aku kasihan beliau. Aku belum sempat berbakti kepada beliau. Aku belum sempat menyenangkan dan membahagiakan orang tua. Walau usiaku sudah menuju kepala empat, keadaanku masih carut marut, sama dengan kondisi ibu pertiwi ini. Aku terimbas multikrisis yang diderita negeri ini.
Kupikir sekaranglah saatnya aku perlu unjuk gigi untuk membebaskan ayahku. Seberapa kuat orang asing tersebut unjuk gigi memerangi terorisme sesuai versi mereka, sebegitu pulalah aku akan unjuk gigi membela ayahku. Ayahku bukan teroris, juga bukan dalam link and range teroris. Aku tahu persis itu. Karena aku anaknya.

***

Hampir setengah jam aku duduk dibawah sebatang mahoni disekitar monas ini. Aku tahu, beberapa pasang mata tengah memata-matai aku. Tentu mereka juga kaki tangannya kepala polda di ibukota ini. Karena areal ini adalah wilayah sekitar istana, tempat ngantornya orang nomor satu di pertiwi ini. Dan memang, istana itu adalah targetku yang paling terakhir. Aku harus berhasil kali ini.
Aku mengangkat pantatku. Kuhitung langkah demi langkah yang kuayunkan, sambil melontarkan dua kata, “ masuk….tidak….masuk…tidak…masuk !!!” ke istana itu. Baru saja beberapa langkah kaki kuayunkan, dua orang pemilik mata yang memata-mataiku itu langsung bertindak.
“Selamat siang, pak” sapa mereka tegas.
“Siang…, ada apa, kenapa emanng dan anda siapa ?” sebelum mereka bertanya aku memberhakkan diri bertanya duluan.
“Maaf, pak. Mengganggu perjalanan anda” jawab mereka sambil mengeluarkan identitas.
Sudah kutebak dari tadi dan ternyata mereka memang aparat keamanan sekitar istana. Mereka orang-orangnya paspampres.
            “Maaf pak, boleh kami….?”
            “Ooo…tenang…saya ngerti” Aku potong pertanyaan mereka, sambil mengeluarkan identitasku juga.
            “Pak Yanki Emendra…” salah satu diantara mereka menyebut namaku, sambil terus menatapku tajam dari atas sampai bawah.
            “ Panggil Yanki saja” kataku sambil menyodorkan salam kenal dengan mereka
            “Tujuan kemana, pak Yanki?”
            “Ke istana !” jawabku singkat
            “ Keperluan ?”
            “ Anda ikut saja, biar tahu sekalian” jawabku lagi.
Suasana agak memanas sedikit, karena mereka sudah berniat menghalangiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan itu.
            “Maaf lagi, pak…” ujar yang satunya, “Anda terpaksa kami bawa dulu ke pos”
            “Ok, asal sehabis itu anda tidak menghalangi saya lagi”
Aku diapit oleh kedua orang itu, terus digiring ke pos keamanan, dibilangan jalan Medan Merdeka itu.


Di posko itu, aku habis-habisan dihujani aneka pertanyaan oleh mereka. Aku berusaha mengendalikan emosi, saat pertanyaan mereka sudah tak relefan lagi.
            “Anda semua puas ?” tanyaku dengan nada sedikit meninggi.
            “Sori, pak Yanki. Kami mesti periksa tas kecil anda ini “
            “ Yup, silahkan “
Bagiku tidak masalah, karena aku bukan pemakai dan pengedar narkoba. Tas itu bukan untuk membawa benda-benda haram itu. Juga bukan untuk membawa senpi dan sajam, apalagi untuk membawa bom. Karena aku tak punya pengetahuan dan kemampuan merakit bom. Kalaupun terpaksa, aku hanya bisa mem-bom dua angka togel, itupun kalau dapat mimpi bagus.
Tas tersebut hanya berisikan satu keping disc dokumentasi keluarga besarku, satu buku kecil dan satu pena. Itu kuanggap sama dengan satu orang pengacara, karena aku tak punya se-tas duit untuk menyewa pengacara. Jadi , aku dan tas itu lah yang akan bertindak sebagai pembela ayahku.
            “Ini disc apa, pak Yan?” tanya mereka lagi
            “Anda mau tahu juga, silahkan putar sendiri !” jawabku
Memang dasarnya mereka mau tahu dan memang perlu tahu, disc tersebut di playback pada sebuah VCD player yang memang stand by di depan mereka dengan tv 21 inchi.
            “ Lo, itu disc apa, mas ?” tanyaku juga, saat melihat ada disc dengan cover “xxx” yang masih nginap di player itu.
            “ He…he…he, biasa lah, pak.” Jawab mereka.
Aku bisa maklum, karena mereka masih muda-muda. VCD yang mereka gemborkan terlarang, itupun terkadang mereka butuhkan. Tapi itu juga bukan urusanku. Yang terpenting jangan sampai ada berita mengenaskan; bahwa ada aparat ditangkap aparat karena nonton vcd porno rame-rame. Itu tentu sangat memalukan.
Aku terpaksa bersabar lagi, menunggu mereka “melidik” dokumentasi keluargaku itu.
Aku sudah bosan menonton dokumentasi itu. Isinya tidak pernah ada perubahan. Diawali dengan klip ayah dan ibuku plus sedikit aktifitas keseharian mereka, trus… dilanjutkan dengan klip aku sendiri sebagai anak sulung, anak dan istriku, trus lagi…klip adik-adikku dan semua ponakanku.
“Lo…lo…, ini kan si Reza….Reza Emendra” teriak salah satu diantaranya,       ‘ Ya, dia kan lagi ngepam di istana sekarang “ imbuh yang satunya.
“ Ya, seratus buat anda. Dia adik saya nomer empat”
Mereka semua saling pandang, terus memandangiku juga, sambil melanjutkan nonton disc tersebut.
“Maaf, mas ya…. Saya buru-buru!” tanpa permisi lagi, kukeluarkan disc tersebut dari playernya.
“Tujuan saya ke istana, pertama ingin menampar si Reza, teman anda itu. Kedua ingin menemui tuan Presiden, meminta keadilan yang sesungguhnya !”
Mereka semakin bingung. Aku terus saja mengemasi disc itu. Dan siap-siap meninggalkan mereka.
“ Dan sekarang jangan halangi saya lagi” kataku tegas, “ Permisi !”
“ Pak…pak…” teriak mereka.
Aku tak peduli lagi dengan teriakan mereka. Aku juga tak peduli, apa mereka mau melepaskan tembakan dengan beceng yang stand by dipinggang mereka masing-masing. Kemenangan sedikit saja, ini adalah zaman reformasi dan demokrasi yang kebablasan. Tentu aku juga punya hak dalam orde ini. Mustahil mereka masih betah menjalankan program JPS-M, seperti di orde sebelum ini. (JPS-M versiku Jemput Paksa Siksa, lalu Mati)
Aku tinggalkan mereka di pos itu, tapi dua orang yang menggiringku tadi, tetap membuntutiku.
***
Istana begitu tegar dan kokohnya di depanku. Dia semakin kuat dan aman karena ada pagar betis aparat ber pe-de-el lengkap sepucuk AK-47 ditangan mereka. Itu baru sebagian dari paspampres yang berada di ring satu. Tentu ada personil lain yang berada di ring dua dan ring pamungkas, yakni ring tiga. Jika mereka menganggapku teroris, maka sesuai prosedur tetap keamanan istana, aku akan digeladah dan di-interograsi di ring satu. Jika aku memaksakan diri dan lolos di ring satu, tentu aku akan diterjang oleh aneka peluru karet, atau mungkin juga dengan peluru tajam. Jika aku masih ngotot dan belum juga lumpuh, pastilah aku akan di eksekusi mati di ring tiga. Akan tetapi aku bukanlah teroris.
“Berhenti ditempat !!!” Tangan keatas !!!” gertak salah satu anggota paspampres itu. Aku santai saja, sambil terus menerobos ring satu. Aku benar-benar tak peduli, walaupun moncong beberapa AK-47 sudah mengarah ke kaki, jantung dan kepalaku.
Langkahku baru bisa berhenti, saat salah seorang danru mereka melompat kearahku. Dia langsung menggeranyangiku dari atas sampai bawah. Truss…dia mempreteli seluruh isi tas ku. Aku mesti bersyukur, karena dua orang yang membuntuti aku tadi, memberi kode yang entah apa maksudnya, yang jelas tasku dikembalikan.
Dengan peluang itu, tanpa menghiraukan ring satu dan ring dua lagi, emosiku semakin memuncak. Aku terus melangkah menuju ring tiga, yang persis berada di lobi istana itu. Dan ….plak…plak…plak ! tanpa ba-bi-bu  aku langsung menampar salah seorang anggota paspampres di ring tiga itu.
“ Kau adik yang tak berguna ! Kau juga anak yang durhaka !”
“ Siap !!! Aku salah, kak”
“ Apanya yang siap ! Aku bukan komandanmu !”
Tidak puas dengan itu, tanganku melayang lagi ke kepalanya, walau berhasil ditangkisnya.
“ Maafkan aku, kak. Sampaikan juga maafku pada ayah”
“ Kau berharga dimata negara, tapi tidak dimataku, juga tidak dimata keluarga”
Belum puas juga, satu tendangan kaki kananku mendarat diperutnya. Aku tahu, tamparan dan tendanganku tentu tak berarti apa-apa bagi Reza, karena tamparan dan tendangan komandannya tentu lebih dahsyat lagi, manakala anak buahnya bersalah sedikit saja.
Reza sudah tidak dalam posisi  siap ditempat lagi. Dititipkannya AK-47 itu ke teman di sampingnya, lantas dia menghadap danru-nya.
            “Izin komandan…” katanya sambil memberi hormat kepada salah seorang anggota berpangkat lebih tinggi di istana tersebut. Lantas Reza langsung memburu dan mendekapku.
“Maafkan aku, kak. Aku bukannya nggak peduli ayah. Sejak mendengar berita tentang ayah, aku nggak konsen lagi disini, pikiranku terus ke ayah, terkadang mau kutodongkan saja senjata ini ke kepalaku sendiri. Aku tak dapat izin, kak….jadi maafkan, aku…”
Sesaat aku hanya terdiam dan terpaku ditempat, karena sudah sangat lama aku tidak melihat dia menangis. Kini, bahu kiriku basah oleh tetesan air matanya.
            “Kau kan tahu siapa ayah, sementara kau tak lebih jauh sejengkal dari presiden”
            “Aku tahu maksud kakak,” kata Reza lagi sambil melepaskan rangkulannya.
            “Tentu aku tahu ayah, karena aku anak beliau. Karena itu juga aku sudah beberapa kali di panggil atasan. O, ya…untuk bicara dengan presiden, itu sesuatu yang tidak mungkin kak. Pangkatku masih dibawah. Lagian bintang satupun, belum tentu bebas ngomong dengan presiden”
            ”Ya…sudah. Tujuan keduaku kesini, mau bertemu presiden !” kataku
Aku menebar pandangan kekiri dan kekanan.  Ada sedikit rasa malu di hatiku, karena puluhan anggota paspampres dan staff istana, terpana melihat kami.
            “He, Za…dimana ruang presiden ?!” tanyaku pada Reza
            “Akh…sudahlah, kak. Bikin malu saja”
            “Dimana !!!” hardikku.
            “Siap, didalam sana!”
Dengan tas kecil ditangan dan kubuang rasa maluku sesaat, lantas kutuju ruang itu.
            “Wow…wow, luar biasa dengan sandiwara yang saudara bawakan tadi”
Tiba-tiba seseorang yang duduk di lobi itu berdiri dan mendekati aku.
            “Pak Yanki Emendra ya….?” Tanya orang itu sambil menyodorkan salam kenalnya.
            “Iya pak, Pak Andri Malenggang Kangkung ya ?” aku balik bertanya.
Siapa yang nggak kenal dengan orang itu. Bekas komentator, juga seorang kritikus handal dan presenter dibeberapa stasiun tv. Utamanya ibu-ibu muda, sangat mendambakan kehadirannya di layar kaca untuk sekedar melihat kumisnya yang tebal. Dia lah yang diambil  oleh tuan presiden sebagai jurubicara sekarang ini.
            “Silahkan duduk, pak”
            “Terima kasih” ujarku, “ Dulu sebelum anda duduk dikursi empuk itu, saya termasuk orang yang mengagumi anda, karena setiap anda tampil di media, anda selalu pintar berdebat dan memperdebatkan masalah orang kecil”
            “Akh, pak Yanki, bisa aja”
            “Benar lo. Pak. Tapi selama setahun ini, suara anda jarang sekali terdengar, anda pun sepertinya sudah tak minat lagi bicara tentang orang kecil”
            “Nggak juga” katanya sambil sesekali memainkan kumis.
            “O, ya pak Yanki. Tuan Presiden lagi berada di kota Nantacinto, di daerah asal anda sendiri. Beliau sedang membahas masalah terorisme dengan sejumlah mentri terkait dan para petinggi tentara dan polisi”
            “Aduh…pak. Kecewa lagi dong saya”
            “Terus terang saja, kami sudah tahu masalah yang menimpa ayah anda. Kami sudah beberapa kali meminta keterangan dari Reza, adik anda itu. Jika memang tidak terbukti bersalah, dalam waktu dekat ayah anda tentu di bebaskan. Proses penyelidikan masih berjalan”.
            “Anda tentu bisa tenang duduk dikursi itu, sementara saya merasakanada duri dikursi yang saya duduki ini. Ayah saya tentu menderita lahir batin di tahanan tersebut”
            “Lantas, mau anda ?!”
            “Saya kesini mencari keadilan. Walaupun keadilan yang sebenarnya hanya ada di Tuhan, tapi tentu pihak disini bisa memainkan peran. Seperti halnya beberapa kasus besar terdahulu, yang nggak jelas ujung pangkalnya, tentu orang-orang seperti anda juga bisa ! membebaskan ayah saya yang benar-benar tidak bersalah. Ayah saya tidak terjangkau politik. Beliau juga tak minat bicara Amerika, Australia dan sejenisnya. Jadi kalian salah besar menahannya. Anda mungkin juga pura-pura tidak tahu, bahwa ledakan itu bukan pekerjaan orang seumuran ayah saya. Tapi karena desakan politik dan pekerjaan penjahat berdasi, beking, intervensi negara asing dan lain-lain, maka yang benar harus dikatakan salah dan sebaliknya”
            “Tidak begitu, pak,” sela pak Kangkung, ”Pertiwi ini negara hukum, terlepas dari ayah anda terlibat atau tidak, tolonglah hormati proses hukum yang sedang berjalan”
            “Benar atau tidaknya apa yang anda katakan itu, saya memakluminya. Karena anda adalah peran pendamping, bukan aktor utama dalam sandiwara ini. Anda bukan pembuat keputusan, tapi orang-orang seperti anda bisa dapat mempengaruhi suatu keputusan”.
“Itu persepsi bapak yang salah, pak”
“Dan sangat memalukan, jika mesti mendatangkan tim dari Puslabfor dalam dan luar negeri. Sandiwaranya jadi nggak cantik, malah bikin bahan ketawa orang-orang seperti saya yang anda kira bodoh ini. Saya tegaskan lagi, bahwa yang meledak itu bukan bom, tetapi gudang penimbunan BBM milik seorang penjahat berdasi yang bermain mata dengan aparat. Saya menganggap mereka sama saja dengan beberapa ekor kambing dan sapi yang jadi korban ledakan itu, karena kandang mereka memang berdekatan dengan sumber ledakan. Seharusnya penjahat berdasi itu juga mati bersama kambing dan sapi itu di tempat kejadian perkara. Tapi gimana lagi, si penjahat masih berkeliaran dan tetap bisa bernafas lega. Ada apa ini, pak Kangkung?”
 “Itu yang sedang diselidiki, pak”
            “Tapi tidak adil dong, ayah saya yang ditangkap. Ayah saya sudah tua. Benar, dia masih bisa  menghimbau, memberi saran dan menyirami rohani orang-orang, tapi itu  sebatas ajakan untuk berjalan dan berbuat di jalan-Nya. Beliau tidak menghasut, karena itu akan bertentangan dengan keyakinannya juga berlawanan dengan ucapan yang dilontarkan ke orang-orang. Jadi sangat mengada-ada jika beliau dihubung-hubungkan dengan teroris. Untuk anda ketahui juga, bahwa kakek dari kakek saya dulunya, jauh sebelum gedung we-te-se hancur, juga berpredikat seperti ayah saya sekarang ini. Jadi, kami keturunan baik-baik”

***
            Tiga hari kemudian, di kota Nantacinto, aku sudah diperbolehkan menjenguk ayahku. Tapi tetap saja harus melalui barikade aparat yang berlapis.
Setelah ayahku selesai melaksanakan salah satu kewajiban lima waktunya, aku langsung memburu beliau. Aku bersembah sujud di depannya, lalu kupeluk dan kucium beliau dengan batin yang tersiksa.
            “Maafkan saya, ayah” pintaku.
            “Kamu tidak bersalah, Reza juga tidak bersalah, kenapa kamu berlaku kasar padanya ?!”
Aku kaget. Kenapa ayah bisa tahu. Aku sempat mengira-ngira, apa disebabkan kejernihan hati beliau, sehingga kontak-bathinnya dengan kami, anak-anaknya  mudah tersambung. Ayahku bisa mengetahui peristiwa di istana itu. Atau mungkin juga karena kecanggihan teknologi terkini, sehingga informasi cepat sampai ke beliau.
            “Sudah…sudah, aku baik-baik saja disini. Mereka memperlakukan dengan sangat baik dan sopan sekali. Dan aku akan pulang hari ini”
            “Ah…yang benar, yah?!”
            “Lihat saja nanti”
Aku bingung, kenapa ayah bisa ngomong begitu. Padahal di pos penjagaan depan sana, tanda-tanda penyelidikan selesai masih simpang siur.
            “Selamat siang, pak” tiba-tiba seorang aparat mendatangiku.
            “Yak, selamat siang”
            “Anda diminta datang ke ruang komandan”
            “Ada apa lagi?” tanyaku semakin heran
            “Sudah…cepat kamu kesana!” perintah ayahku
            “Ada tiga orang dari pusat perlu bertemu anda” kata anggota tadi.
            “Ok. Saya tinggal ayah sebentar ya”
Dengan penuh penasaran dan tergesa-gesa aku menuju ruang  kepala polda, diiringi oleh beberapa orang anggotanya dibelakangku.
            “Selamat siang, pak” sapaku kepada komandan itu.
            “Siang, silahkan duduk” jawab komandan ramah
Aku semakin heran, selain komandan, ada tiga orang lagi yang katanya mau bertemu denganku.
            “Ada apa, pak komandan?”
            “Pertama, ayah anda dibebaskan tanpa syarat hari ini. Saya minta tanda tangan anda untuk menyertai surat pembebasan ini”
            “Ya, terima kasih. Lantas bagaimana dengan nama baik ayah dan keluarga saya yang sudah dikotori oleh kejadian ini?!”
            “Tenang, pak. Sesuai perintah dari pusat, maka kami sudah menyiapkan agenda pembersihan dan rehabilitasi nama ayah dan keluarga besar anda tersebut. Berdasarkan instruksi dari istana, beberapa stasiun tv sudah siap untuk melakukan itu. Jadi, anda jangan cemas”
            “Ok. Terima kasih” jawabku, “Lantas saudara yang bertiga ini punya maksud apa lagi menemui saya?”
            “Kenalkan…..saya Daramabih”, sesuai namanya pasti anak pertiwi juga. Dia memperkenalkan diri pada saya, sambil membenarkan kartu identitas yang tersemat di saku kirinya. Dia seorang agen dari BIN.
            “Saya ….John McCuldy dan teman saya ini George Winstone”
Nah, yang dua ini, dari nama dan wajah, walaupun bisa berbahasa Pertiwi, pastilah mereka orang asing. Dan lebih jelas lagi, setelah keduanya memperlihatkan indentias. Mereka juga anggota mata-mata dari si-ai-e.
            “So, what….?” tanyaku.
            “ Kami orang di utus khusus untuk  menyampaikan langsung sebuah paket dan kenang-kenangan kepada anda. Email yang anda kirim ke presiden kami, mendapat tanggapan positif dari beliau. Dan terimalah ini, sebagai bentuk rasa hormat dan terima kasih dari beliau”
            John McCuldy mengalungkan sebuah medali perdamaian yang sudah dibubuhi dengan tanda tangan yu-es-e president. Kemudian Winstone menyerahkan sebuah paket kecil kepadaku.
            “Silahkan dibuka sekarang” pinta Winstone.
            Aku terkejut. Isi paket tersebut rupanya lembaran-lembaran uang kertas yu-es dollar, yang sudah tersusun rapi dalam beberapa ikatan.
            “Apa-apaan ini?!” tanyaku semakin heran.
            “Jumlahnya lima puluh ribu, pak. Mungkin dapat dipergunakan untuk pengembangan umat, saudara-saudara muslim kami di daerah bapak”, terang mereka.
            “Ok, saya terima. Thanks. Tapi tolong hormati juga pertiwi saya. Anda “si-ai-e” disini ACI, Aku Cinta Indonesia. Jadi tolong rupiahkan saja.”
            “Siap…kami laksanakan”
Sementara orang dari BIN dan dua bule itu pergi ke money changer, aku berikan tanda tangan sesuai permintaan komandan tadi. Lalu aku buru-buru ke tempat ayahku.
Pintu sel itu sudah tak berkunci lagi. Orang-orang begitu ramainya mengunjungi ayahku. Beliau dikelilingi oleh orang-orang yang mengaku pernah ber”guru” pada ayahku.
“Benar, yah. Ayah pulang sekarang” kataku pada ayah, yang memang sudah berbenah mau pulang.
Didepan markas polda tersebut, kru beberapa media cetak dan elektronik, dalam dan luar negeri sangat ramai. Maklum kasus-kasus seperti ini merupakan sumber berita yang lagi laku-lakunya dipasaran. Tapi aku tahu persis, ayah pasti tadak mau berkomentar di depan kamera dan lensa.
“Maaf ya, teman-teman wartawan. Tidak ada bahan berita untuk tv dan koran anda. Yang pasti anda telah salah menayangkan sosok teroris seperti orang tua ini. Dia bukan teroris ! Permisi…Kami mau pulang !” kataku di keramaian wartawan itu.
Kerumunan orang-orang itu berhasil di sisir oleh tiga temanku tadi, dibantu oleh beberapa anak buah komandan. Ayahku dituntun ke sebuah Mercy yang terparkir tak jauh di markas polda itu. Entah milik siapa mobil itu.
Wow, rupanya McCuldy mengambil posisi dibelakang setir, Daramabih disampingnya sebagai navigator. Sementara Winstone, aku dan ayah dibangku belakang mereka.
“Kami akan mengantar anda pulang”
Thanks
McCuldy dipandu Daramabih tancap gas. Sesekali aku memandangi ayah. Karena aku bermaksud mengajak beliau bicara, tapi mulutnya masih saja komat-kamit, sementara tasbih ditangannya terus menerus dipermainkan jarinya.
“O,ya pak Yanki…jumlah rupiah hasil konversi yu-es dollar tadi adalah setengah milyar. Ini uangnya. Silahkan diterima” ujar Winstone.
“Sudah dipotong komisi?” tanyaku dengan sedikit bercanda.
“oh…no. No, Thanks. Presiden kami melarang menyunatnya” jawab Winstone
“Ok. Terima kasih, sekali lagi”

Yu-es-e President yang terhormat…
Hampir seluruh negeri di planet ini mengakui kepemimpinan dan keberadaan negeri anda. Apalagi sejak anda mendengungkan ajakan, strategi dan kebijakan ber”perang” dengan senjata pemusnah massal dan terorisme. Menjadikan anda top of the top di era milenium ini.
Yu-es-e President…., anda menyatakan perang dengan terorisme. Presiden di negeriku, Pertiwi Tercinta juga begitu. Sementara jika aku bertemu dengan teroris yang benar-benar teroris, maka aku tak perlu di hadiahi sepuluh juta yu-es dollar. Aku akan ikhlas memultilasi teroris benaran itu menjadi 6666 potongan, karena  anda benar-benar telah disibukkan olehnya. Aku juga benci teroris,  tuan Presiden.
Hampir semua penduduk bumi mengenal anda, termasuk anakku yang berumur tujuh tahun pun sudah mengenal anda. Walau anda berada dibelahan sana, teknologi telah membantu memperkenalkan anda pada anakku itu.
Hanya saja ayahku yang sudah tujuhpuluh tahun, mungkin tidak mengenal dan tidak punya keinginan mengenal anda. Ayahku justru telah mengisolasi diri terhadap urusan duniawi. Termasuk seruan anda “mari perangi teroris” juga tidak akan pernah sampai ketelinganya. Ayahku hanya mendengar seruan Tuhan, yang wajib baginya untuk dilaksanakan. Agama adalah jalan kedamaian dan keselamatan baginya, baik di dunia maupun di akhirat.
Jika bukan anda, tentu ayah anda juga tak jauh beda dengan ayahku. Pandangan ayah anda terhadap seruan Tuhan dan agama tentulah sama. Kalaupun beda-beda dikit, itu biasa. Asal anda ingat sejarah saja, bahwa kita penghuni planet ini sama-sama anak cucu Adam. Maka seharusnyalah, karena satu nenek moyang, cucunya dilarang saling bunuh-membunuh atau bom-membom.
Sekarang saya minta peran anda untuk membebaskan ayah saya, karena beliau bukan target anda. Semoga para agen yang anda tebar diseluruh negara, termasuk dinegaraku, dapat membedakan ; mana yang teroris dan mana yang bukan !
Itulah isi surat yang kukirimkan ke email pribadi yu-es-e president, sesaat setelah aku gagal menemui presidenku sendiri, diistananya beberapa hari lalu. Tamat

TERORIS hanyalah cerita fiksi belaka. Maaf jika ada kemiripan nama dan kisah.
Kritik dan Saran dapat disampaikan ke  yanuar.emra@yahoo.com



Tidak ada komentar: