Welcome to oye

Selamat membaca....

Senin, 23 Juni 2014

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA III

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA (Bagian III)

 
Cerita Bersambung : Yanuar Emra 

Untuk mengaburkan pusat perhatian orang-orang di sana, Feri Lay mengajak Reza ke dalam ruko itu, Aku mengaitkan siku kananku ke siku kiri Reza dan menggiringnya ke ruko.

“Maaf, Kak…Aku telat dating,” kata Reza.

“Aku paham. Kami tidak pernah berharap kamu datang, karena kamu milik negara, bukan milik keluarga saja,” balasku.

Rezapun berhenti sejenak, menatap dan memelukku.

Hey, Reza…sampai juga kamu di Padang ya?” celutuk Maryono menghampiri kami, lalu menyalami Reza.

“Ya, sudah…di dalam saja lanjutkan,” perintah Lay.

Kami berempat menghilang dari kerumunan warga di badan jalan Damar itu, kemudian melanjutkan obrolan di dalam ruko.

“Di Jakarta, itulah yang kuhadapi setiap hari, demo dan kerusuhan hampir di seluruh pelosok ibukota. Aku betul-betul muak dengan semua itu. Untuk menengok keluarga yang kena musibah juga tidak diberi kesempatan. Hari ini aku cabut dari dinas, langsung ke sini via udara, setelah mendapat info dari Dewi dan Mita tadi pagi,” cetus Reza menjelaskan.

“Tapi, kenapa kamu tidak minta izin dulu? Itu bisa membahayakan posisi kamu.”

“Setiap aku minta izin selalu tidak mendapatkannya, aku sudah tanggung resikonya akan penanggalan baju ini.”

Kucuri pandang ke seluruh wajah dan tubuhnya. Wajar jika tadinya aku rada-rada lupa dengan Reza, karena badannya yang makin mekar dan tegar.

“Bang…!” panggil Maryono lagi, “ Aku barusan mendapat izin untuk menengok Mbak dan Tiara di kampung.”

 “Oke, terima kasih. Sekarang kamu ke atas, panggil calonmu itu,” jawabku dan menyuruhnya mencari Mita di lantai dua untuk membuatkan kami minuman.

“Ah, Abang ni, aku jadi malu sama si aparat dari ibukota ni,” balas Maryono tersipu.

“Sudah… sudah, pergi ke atas sana, aku juga sudah tahu kok,” sela Reza.

“Siap, laksanakan...!” canda Maryono.

Tak lama ditinggal Maryono, Danki Pujo datang menghampiri kami. Ia pun menyalami kami. Namun, Reza harus memberi sikap hormat tegap di tempat dulu, baru membalas salam Danki.

Sementara di luar ruko sepintas kulihat keramaian warga mulai meningkat. Hampir satu jam, pasca terkaparnya sekelompok perusuh itu, situasi masih aman dan terkendali. Tanda-tanda kerusuhan yang lebih besar lagi tidak kelihatan, kemungkinan provokatornya berurung niat untuk mennyusupkan aksinya, karena pergerakan dan penempatan aparat di beberapa titik rawan sudah dilakukan oleh para pengambil kebijakan.

Danki Pujo menjelaskan kepada kami bahwa kerusuhan beberapa waktu lalu itu tidak terlepas dari campur tangan provokator.

“Dari bahan dan keterangan yang kami peroleh, awalnya begini juga, kemudian si provokator bergabung dengan iring-iringan massa yang banyak. Di saat itulah mereka mulai memanasi dan membangkitkan emosi yang lainnya dan mulai terjadi pelemparan, pengrusakan, penjarahan dan pembakaran serta tindakan asusila. Kami sudah mengamankan sejumlah baket berikut sejumlah tersangka. Otak provokator sedang dalam buruan kami. Mudah-mudahan dalam jangka dekat kami bisa menangkapnya,” jelas Danki Pujo.

 “Ya, mudah-mudahan saja, Pak,” harapku sambil mempersilahkan Danki Pujo menikmati kopi hangat suguhan Maryono dan Mita.

“Tapi, kami meminta bantuan Pak Yanki untuk membangunkan kembali perusuh-perusuh itu, mengingat yang menidurkan mereka tadi adalah pak Yanki. Kami sudah usaha, kami kewalahan begitu juga pihak PMI (Palang Merah Indonesia – ed). Jadi, kami kembalikan ke Bapak,” pinta Danki Pujo.

“Reza, sekarang baru giliran kamu. Coba kamu bangunkan mereka dengan pedang itu. Terserah kamu, mau diapakan mereka dengan pedang itu, yang jelas tidak akan ada darah dan luka, walau kamu bacok dan kibaskan lagi ditubuh mereka. Dahului dengan menyebut nama Allah,” pintaku pula pada Reza.

“Hah, jangan bercanda, Kak..?!” jawab Reza bingung.

“Terus…, mau kita apakan? Yang merubuhkan mereka pedang itu, tidak ada salahnya dicoba membangunkan kembali pakai pedang itu pula.”

“Hayo, Rez!” perintah Danki Pujo.

“Si…siap, Komendan!” jawab Reza. Dengan kondisi bingung ia menerima pedang itu dari tanganku, lantas memburu para perusuh itu lagi. Kami pun mengiringinya.

Di luar sana emosi Reza kembali tersulut. Satu persatu perusuh itu dibacoknya. Alhamdulillah, berkat bacokan itu pula para perusuh terbangun. Satu perusuh dijatahi Reza dengan satu bacokan plus satu tendangan ekstra sepatu pe de el-nya. Aksi tersebut sempat menimbulkan pekikan dan kengerian warga, terutama kaum perempuan yang ikut menyaksikannya.

“Ayo, kalian naik sana.” bentak Reza, menyuruh para perusuh naik ke truk Dalmas dan PHH Polda setempat.

“Reza, pelan-pelan saja. Hasilnya sama. Ngapain kamu buang banyak tenaga?” hardikku.

Akhirnya seluruh perusuh terbangun dan siap dibawa markas aparat setempat untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawabannya.

Aku membawa Reza kembali ke dalam ruko. Lay meminta Reza menyerahkan kunci taxi kuning terparkir di tengah jalan yang masih diblokir aparat itu. Tak lama kemudian, satu jeep wilis tua, satu taxi bandara Tabing dan satu motor gede milik kesatuan Maryono sudah terparkir di depan ruko itu. Kami melanjutkan obrolan dan minum kopi siang itu.

“Lay, lu punya agenda apa, kita bisa pulang nggak?” tanyaku ke Lay, karena aku mengincar kendaraannya untuk pulang kampung.

“Dari patang-patang den ajak pulang. Angku iyo ndak baa manundo, tapi aden alun maliek kondisi Tiara, Malu den ka urang rumah angku. Sanak macam apo den dianggapnyo beko. Kini siap-siap, langsung wak pulang.” jawab Lay.

Aku hanya tertunduk  mendengar jawaban Lay yang telah kehilangan sebagian besar aset dan seluruh anggota keluarganya. Ia telah menyatakan badunsanak dengan aku berikut seluruh keluargaku.

Pasca kerusuhan tempo hari, Lay sempat menyarankan agar aku segera menutup usahaku, karena menurut feng-sui versi dirinya, ruko ini tidak akan menghasilkan apa-apa lagi. Ia berencana, dengan sisa asetnya yang ada, mengajak aku menekuni bidang perkebunan. Lay menyatakan diri siap tinggal dengan keluarga besarku di Pandai Sikek, kaki Gunung Singgalang itu.

“Hey, kalian melamun apa? Ayo siap-siap. Kita pulang kampung. Dan kalian, Dewi, Mita boleh pulang cepat. Ambil libur beberapa hari. Aku yang tanggung jawab. Kalau ada yang kangen sama sersan Maryono, silahkan menyusul,” ujar Lay lagi sambil menyindir Mita bercanda.

Kami mengikuti semua ajakan Lay. Dengan jip wilis tua yang masih betenaga prima itu aku, Reza, Maryono dan Lay di belakang setir, langsung berangkat menuju Pandai Sikek, sebuah daerah di kaki Gunung Singgalang. (tamat)
 

Yanuar Emra, lelaki kelahiran 5 Januari tahun ketumbar, berprofesi sebagai wartawan dan budayawan, berdomisili di Jakarta – editor: Zakirman Tanjung (tzakirman@gmail.com)

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA II

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA (Bagian II) 



Cerita Bersambung Yanuar Emra 

Aku tak tahan lagi membendung emosi. Darahku mendidih, hatiku panas! Aku berlari ke arah perusuh yang jumlahnya cukup banyak tersebut.. Aku menghadang mereka dengan pedang terhunus.

“Hei, kalian bangsat, binatang, setan dan iblis!!! Siapa yang memerintahkan kalian?!” bentakku.

Mereka kaget dan serentak diam di tempat. Lebih dari seratusan pasang mata itu tertuju padaku. Namun, salah satu dari mereka berteriak sekaligus memberi perintah.  “Bunuh ! Bakar ! Bunuh !”

Mendengar itu, mereka semua menyerangku. Ada yang melempari aku dengan batu, ada yang memburuku dengan sabit dan pedang pula. Dalam keadaan begitu, akupun kalap. Namun, masih sempat bermohon kepada Tuhan agar tetap dalam lindunganNya.

“Allahu Akbar…” teriakku, sambil mengelakkan, menangkis juga membalas serangan manusia-manusia yang sedang dikuasai iblis dan setan itu.
Dan disanalah keajaiban yang jarang terjadi, terjadilah. Aku sedang dalam dekapan Allah Maha Pelindung. Tidak satupun batu, sabit dan pedang ataupun tindakan perusuh-perusuh itu menyentuh batang tubuhku.

Sementara itu, pedang yang kukibaskan ke sana ke mari, dengan maksud menghabisi mereka juga tidak menimbulkan korban berdarah, tapi berhasil membuat mereka roboh tak berdaya satu persatu. Mereka tergelatak diam di badan jalan, di tengah terik matahari. Aku berbalik cemas, matikah mereka(?), tanyaku dalam hati.

Aku berbalik kasihan kepada mereka. Dengan dibantu masyarakat yang bermunculan satu persatu, ditambah para jemaah yang barusan selesai shalat Jumat, kuminta para perusuh dipindahkan ke trotoar.

Aku sedikit tertunduk malu, ketika kusadari aku hanya menggunakan celana pendek tanpa baju, sementara sebagian lirikan masyarakat terus tertuju padaku; para pemilik ruko dan perkantoran yang mayoritas keturunan Cina itu, termasuk Dewi dan Mita juga ketahuan mengintipku dari balik jendela ruko masing-masing. Aku segera masuk kembali ke rukoku.

Kukembalikan pedang itu pada sarungnya dan meletakkannya di tempat semula, kemudian aku kenakan pakaianku seutuhnya, selanjutnya pintu ruko kubuka lebar-lebar. Setelah itu aku angkat gagang telepon, mudah-mudahan pihak berwajib masih setia dalam pelayanannya di masa multi krisis ini.

“Ya, siang kembali,” jawabku saat mendapat sambungan di seberang sana,

“Saya Yanki, saya beritahukan, didepan toko Nirvana Mustika, Jalan Damar nomor 666, sekitar seratusan lebih perusuh lumpuh dan rubuh. Silahkan bapak-bapak memeriksanya.”

“Siap, pak Yanki. Kami segera meluncur ke tekape,”

Baru saja kututup telepon itu, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah suara yang tak asing di telingaku.

“Bang…bang Yanki,” panggil Maryono, seorang anggota polisi dari Satuan Brimob Kepolisian Daerah setempat.

“Masuk, ada apa, Yon? “ tanyaku pada Maryono.

“Maaf, bang. Aku selalu telat datang saat dibutuhkan oleh keluarga.” sesalnya

“Tidak apa-apa, lagian kamu juga tugas pengamanan di lokasi lain kan?” hiburku.

“Bagaimana keadaan mbak dan Tiara sekarang?” tanya Maryono.

“Lumayan, sudah membaik.” jawabku.

Maryono memang sering bersinggah ke rukoku saat ia lepas dinas. Ia satu daerah asal dengan mertuaku, karena itu ia menganggap keluargaku adalah keluarga dia.

Maryono juga senang dengan barang daganganku, yaitu alat dan peralatan musik, terkadang ia mampir sebentar cuma untuk melatih jarinya diatas tuts-tuts sebuah keyboard. Ia pecinta musik. Karena Maryono masih bujangan, aku tak menampik bahwa ia melirik salah seorang karyawanku.

Terbukti Dewii turun dari persembunyian dilantai dua dan menghampiri kami. Senyum sumringah bergulir dari wajah Maryono saat menyambut Dewi.

“O, iya…bang. Didepan  danki kami mau bicara dengan abang.” kata Maryono.

“Ok, mari kita kesana” ajakku.

Aku tidak menyangka secepat itu gerak aparat mengatasi kejadian itu. Salut. Tapi sedikit menyayangkan fungsi intelijennya yang kurang cepat, sehingga antispasi telat dan perusuh itu duluan beraksi.

Warga masyarakat sudah tidak seberapa di sana, sementara para perusuh yang masih terkapar telah dilingkari oleh police line.

“Selamat siang, Pak...,” sapa komandan kompi itu, “Pak… Yanki, ya?”
“Selamat siang, Pak Pujono,” jawabku dengan sok akrab, padahal aku tahu namanya dari label di dada kanannya.

“Saya ikut prihatin atas terjadinya musibah yang menimpa Tje-tje, istri bapak.”

“Saya tambah prihatin lagi mendengar ucapan bapak itu. Saya tegaskan bahwa saya dan istri saya adalah anak Indonesia asli, pribumi, pak. Lebih jelasnya, pak Pujo bisa bertanya kepapada Maryono itu.” jelasku.

Lalu aku pergi meninggalkan danki Pujo beserta bawahannya. Ia hanya menambah rasa kesal saja, sementara para perusuh itu belum ada tanda-tanda mau diangkat atau diberi tindakan lainnya.

Jalanan kelihatan sepi. Hanya satu dua warga saja tersisa melihat-lihat kondisi perusuh itu. Beberapa regu aparat dari kompi Dalmas dan Pasukan anti Huru Hara datang menyusul. Mereka berjaga-jaga, informasi terbaru dari Maryono bahwa aka nada lagi demo yang lebih besar melewati jalan Damar itu.

Tiba-tiba sebuah taksi berwarna kuning, yang setahuku itu taksi bandar udara Tabing melaju kencang dari arah utara dengan kondisi lampu besarnya menyala. Taksi it terus melaju seakan tak menghiraukan barisan aparat di kawasan itu.

Tepat di depan tokoku, taksi itu berhenti mendadak. Gemerincing remnya memecahkan gendang telinga, membuat perhatian orang-orang tertumpu pada taksi itu. Dengan sigap sopir taksi itu turun. Rupanya dia juga seorang anggota dari pasukan elit bhayangkara itu,. terlihat jelas dari seragam pakaian dinas lapangannya. Ia langsung menerobos pita polisi dan menuju tumpukan para perusuh yang sedang terkapar.

“Kalian preman tai kucing, kalian harus mati…bangsat!” bentaknya sambil menyepak dan menginjak-injak para perusuh itu.

“Hey, tenang Kawan. Jaga nama baik korps kita,” cegah seorang aparat di sana.

Himbauan itu malah membuatnya semakin kalap, Ia bahkan mencabut revolver-nya.

“Aku muak dengan manusia setengah binatang ini. Mereka telah menyakiti keluargaku. Mereka pantasnya mati!” tambahnya, sambil tetap menghantam para perusuh itu.

Sebuah jip wilis tahun tua dari arah selatan juga melaju kencang. Dan berhenti mendadak di depan kantor koran tertua di ranah Minang, yang tepat berhadapan dengan rukoku. Kalau yang ini aku tahu, ia adalah Feri Lay dan benar keturunan Cina. Ia akrab dipanggil Lay saja. Aku dan Lay sudah lama berteman akrab. Mungkin juga seperti sahabat. Lay langsung memburu si aparat yang masih dikuasai amarah itu dan dan berani mendekapnya.

“Sudah, sudah…toh mereka sudah tidak berdaya,” lerai Lay.

Si aparat itu langsung patuh pada Lay. Aku heran, kok si Lay cukup bernyali dan membuat aparat itu patuh kepadanya. Aku mendekati mereka.

“Astaga” ucapku. Dia adalah Reza, adik kandungku yang nomor empat.. Kesatuannya di ibukota, Kenapa dia sampai nyasar kesini. Aku langsung memburunya dan mendekapnya pula kuat-kuat.  (bersambung)

KARENA ISTERIKU MIRIP CINA I

KARENA ISTERIKU MIRIP CINA (Bagian I) 



Cerita bersambung: Yanuar Emra

Krisis yang muncul di medio 1997 lalu diprediksi hanya sebuah angin lalu saja, mampir sejenak, lantas akan hengkang begitu saja. Perkiraan itu meleset jauh. Krisis tersebut ternyata awal petaka bagi negeri tercinta ini.

Dari hari ke hari kondisi itu makin tegar bak batu karang, tak mampu dienyahkan oleh langkah apapun. Ia juga bagaikan cendawan tumbuh yang sangat subur di padang rawa, sembari berkelanjutan menebarkan multi krisis berikutnya, seperti krisis sembako, krisis moral, krisis kepercayaan dan aneka krisis lainnya.

Kerusuhan-kerusuhan begitu gampang tersulut. Amarah anak bangsa kian membara. Membakar rumah, toko dan perkantoran bagaikan acara api unggun raksasa di ujung emosi yang runyam, kemudian ditonton dan diteriaki ramai-ramai. Bahkan nyawa pun seakan lebih murah dari duapuluh ribu rupiah atau senilai satu dolar Amerika, saat kurs terburuk waktu itu.

Tengah hari di kawasan Damar itu suasana tampak sunyi-senyap. Hanya beberapa kendaraan bermotor saja masih lalu lalang di jalan yang biasanya padat dan macet itu. Sementara warga yang biasanya ramai, tak jelas ngumpet di mana.

Usai shalat Jumat, aku buru-buru pulang duluan menuju ruko kontrakanku. Di kiri kanan ruko itu kebanyakan pengusaha dan pedagang bermata sipit, mereka telah menutup ruko lebih awal. Rolling door rukoku-pun sudah separo tertutup. Di dalamnya, dua karyawan menyambutku dengan wajah cemas. Maklum mereka menykasikan sendiri kerusuhan beberapa hari lalu.

“Kok ditutup?” tanyaku.
“Kata orang, demo hari ini akan lebih gawat lagi, Pak,” jawab Mita, satu di antara beberapa karyawanku.
“Saya ingin melihat seberapa gawatnya,” kataku.

Mita dan Dewi terdiam, kemudian saling pandang.
“Sekarang kalian buka lagi, kemudian kalian boleh pulang,” perintahku.

Keduanya semakin heran, dan bersegera mengikuti suruhanku. Namun, baru saja hendak membuka rolling door itu, mereka berhamburan kembali ke dalam.

“Pak…mereka sudah sampai di lampu Belakang Olo sana. Mereka banyak banget, Pak,” teriak Dewi histeris.

“Oke, kalian segera pulang atau boleh berlindung di lantai dua sana,” perintahku lagi.

Aku pun buru-buru ke luar. Ya, ada pergerakan demonstrator dalam jumlah besar, di traffic light, yang tak jauh dari ruko-ku. Tak lama kemudian, aku kembali ke dalam dan masuk kamar yang juga sebagai ruang kerjaku.

Kugantung peci dan tasbih di dinding. Kubuka sarungku, juga baju koko-ku, kecuali celana pendek yang kubuat sendiri dari jeans bekas. Kemudian kuambil sebuah pedang, yang memang sudah kusembunyikan di samping meja. Pedang itu sudah kuasah setajam-tajamnya tadi malam, saat aku berada di kampungku di Lereng Gunung Singgalang sana.

“Untuk apa itu,” tanya ayahku malam itu.
“Cuma membersihkannya, Ayah. Lama tidak dipakai, sudah karatan,” jawabku sedikit berdusta.

Ayahku terdiam sambil menyulut Gudang Garam merah-nya. Sambil mengasah pedang itu, mataku sesekali melirik ayah yang terus mengamati aku.

“Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan. Hadapilah dengan tabah dan tawakal. Itu merupakan cobaan dan berdoalah agar terhindar dari cobaan lebih besar lagi.” pinta ayahku lagi.

Ayah selalu dapat membaca maksudku walaupun telah kusembunyikan sedalam-dalamnya. Seharusnya aku tidak berdusta pada beliau.

Aku paham maksud ayah, tetapi aku bukanlah beliau. Disebabkan oleh keadaan dan lingkungan, ditambah lagi kehidupan penuh perjuangan pasca aku harus berjauhan dengan ayah dan ibu, merantau sejak belia, semua itu membuat aku meremehkan ciri dan tingkah laku mulia yang diwariskan ayah sejak aku lahir. Akhirnya aku harus menerima cobaan yang berat dan mendapat kesusahaan yang benar-benar perih.

Di tengah kondisi begitu barulah aku sadar, l;alu kembali ke rel yang benar. Begitulah penyesalan selalu datang paling belakang. Aku sudah berusaha memupuk kesabaran dan tawakal itu, tetapi cobaan demi cobaan seakan tak mau berhenti mendera. Aku telah pasrah menerima itu, karena mungkin itu ganjaran bagiku yang telah salah mengurusi dan mengontrol diri sendiri.

Tetapi, benteng kesabaranku bobol juga saat aku tidak berada di samping istri dan anakku. Saat itu pulalah yang namanya cobaan tidak bisa kuterima lagi. Kegetiranku tak terhingga saat melihat isteriku terkapar di rumah sakit dan mendengar laporan bahwa Tiara – anakku satu-satunya – disepaki dan diinjak-injak oleh manusia-manusia bejat yang menganggap diri mereka sebagai manusia-manusia reformis.

Andai saja tempat usahaku dihancurkan dan isinya dijarah mungkin tidak terlalu masalah. Tetapi ini anak dan istriku dijadikan ajang kebiadaban! Itulah yang tidak bisa aku terima. Anak dan istriku samalah artinya dengan jiwa ragaku. Itu harus kubela, kupertahankan dan kuhadapi manusia-manusia bejat itu, walau nyawa tantangannya.

Memang isteri dan anakku mirip keturunan Cina, tetapi ibu mertuaku asli ketururnan sebuah keraton di tanah Jawa. Sementara, aku diisukan orang India.

Demi Tuhan, ibuku adalah anak almarhum Tuanku Sutan Kabasaran. Sejarahnya beliau pemangku adat dan penyiar Islam dari lereng gunung Singgalang, tepatnya dari Pandai Sikek. Sementara ayahku sendiri sampai sekarang masih disegani sebagai ulama di kampungku. Beliau juga keturunan penyiar Islam tempo doeloe di daerah Nan Sabaris.

Aku dan istriku dulunya bertemu di Ibukota, lantas kuboyong ke Kota Bingkuang, ibukota provinsi yang tak jauh dari kampung asalku, kemudian menjalani hidup baru dan merintis usaha yang juga baru.

Masalah wajah dan kemiripan itu adalah karunia Tuhan, kenapa keluargaku dijadikan objek kebiadaban? Di Ibukota yang terkenal beragam kejam, aku belum pernah diisengi orang, kok di kampung sendiri aku dihantam?

Lebih kusesalkan lagi, keluargaku diincar saat aku tidak berada di samping mereka. Aku tidak punya firasat kalau musibah itu terjadi saat di mana aku melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Seakan-akan aku membiarkan isteri dan anakku dianiaya orang dan mendapatkan mereka terbaring miris di rumah sakit.

Itulah yang menyebabkan tumbuhnya benih geram di hatiku. Para pendemo mungkin saja menganggap negeri ini sedang tak bertuan dan hokum pun sedang tak bergigi. Kesempatan pula bagiku untuk mencari tahu, apa maunya para perusuh tak bernurani itu. Aku akan mengambil tindakan sesuai dengan caraku pula.

“Hatimu keras sekali, Yuang. Hanya agama penyeimbangnya!” ayah mengejutkanku. Ia berjalan ke arahku, lalu mengambil pedang itu.

“Dengan izin Allah, mudah-mudahan pedangmu ini tidak akan melukai siapapun, tetapi bertenaga dahsyat untuk sekedar melumpuhkan,” lanjut ayah sambil tafakur sejenak dan mengusap pedang itu dari pangkal hingga ke ujungnya.

“  Pergunakanlah sebaik-baiknya dan selalu meminta perlindungan Allah. Aku tidak mau anakku menjadi seorang pembunuh,” ujar ayah lagi.

Tiba-tiba kudengar pecahan kaca berjatuhan disertai sorak-sorai segerombolan perusuh, sehingga menyentakkan lamunanku yang panjang. Batu-batu melayang, menghujani rumah dan pertokoan di kiri-kanan badan jalan Damar itu. Padahal baru beberapa hari lalu, pemandangan serupa  terjadi di lokasi tersebut. (bersambung)