Welcome to oye

Selamat membaca....

Senin, 23 Juni 2014

KARENA ISTERIKU MIRIP CINA I

KARENA ISTERIKU MIRIP CINA (Bagian I) 



Cerita bersambung: Yanuar Emra

Krisis yang muncul di medio 1997 lalu diprediksi hanya sebuah angin lalu saja, mampir sejenak, lantas akan hengkang begitu saja. Perkiraan itu meleset jauh. Krisis tersebut ternyata awal petaka bagi negeri tercinta ini.

Dari hari ke hari kondisi itu makin tegar bak batu karang, tak mampu dienyahkan oleh langkah apapun. Ia juga bagaikan cendawan tumbuh yang sangat subur di padang rawa, sembari berkelanjutan menebarkan multi krisis berikutnya, seperti krisis sembako, krisis moral, krisis kepercayaan dan aneka krisis lainnya.

Kerusuhan-kerusuhan begitu gampang tersulut. Amarah anak bangsa kian membara. Membakar rumah, toko dan perkantoran bagaikan acara api unggun raksasa di ujung emosi yang runyam, kemudian ditonton dan diteriaki ramai-ramai. Bahkan nyawa pun seakan lebih murah dari duapuluh ribu rupiah atau senilai satu dolar Amerika, saat kurs terburuk waktu itu.

Tengah hari di kawasan Damar itu suasana tampak sunyi-senyap. Hanya beberapa kendaraan bermotor saja masih lalu lalang di jalan yang biasanya padat dan macet itu. Sementara warga yang biasanya ramai, tak jelas ngumpet di mana.

Usai shalat Jumat, aku buru-buru pulang duluan menuju ruko kontrakanku. Di kiri kanan ruko itu kebanyakan pengusaha dan pedagang bermata sipit, mereka telah menutup ruko lebih awal. Rolling door rukoku-pun sudah separo tertutup. Di dalamnya, dua karyawan menyambutku dengan wajah cemas. Maklum mereka menykasikan sendiri kerusuhan beberapa hari lalu.

“Kok ditutup?” tanyaku.
“Kata orang, demo hari ini akan lebih gawat lagi, Pak,” jawab Mita, satu di antara beberapa karyawanku.
“Saya ingin melihat seberapa gawatnya,” kataku.

Mita dan Dewi terdiam, kemudian saling pandang.
“Sekarang kalian buka lagi, kemudian kalian boleh pulang,” perintahku.

Keduanya semakin heran, dan bersegera mengikuti suruhanku. Namun, baru saja hendak membuka rolling door itu, mereka berhamburan kembali ke dalam.

“Pak…mereka sudah sampai di lampu Belakang Olo sana. Mereka banyak banget, Pak,” teriak Dewi histeris.

“Oke, kalian segera pulang atau boleh berlindung di lantai dua sana,” perintahku lagi.

Aku pun buru-buru ke luar. Ya, ada pergerakan demonstrator dalam jumlah besar, di traffic light, yang tak jauh dari ruko-ku. Tak lama kemudian, aku kembali ke dalam dan masuk kamar yang juga sebagai ruang kerjaku.

Kugantung peci dan tasbih di dinding. Kubuka sarungku, juga baju koko-ku, kecuali celana pendek yang kubuat sendiri dari jeans bekas. Kemudian kuambil sebuah pedang, yang memang sudah kusembunyikan di samping meja. Pedang itu sudah kuasah setajam-tajamnya tadi malam, saat aku berada di kampungku di Lereng Gunung Singgalang sana.

“Untuk apa itu,” tanya ayahku malam itu.
“Cuma membersihkannya, Ayah. Lama tidak dipakai, sudah karatan,” jawabku sedikit berdusta.

Ayahku terdiam sambil menyulut Gudang Garam merah-nya. Sambil mengasah pedang itu, mataku sesekali melirik ayah yang terus mengamati aku.

“Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan. Hadapilah dengan tabah dan tawakal. Itu merupakan cobaan dan berdoalah agar terhindar dari cobaan lebih besar lagi.” pinta ayahku lagi.

Ayah selalu dapat membaca maksudku walaupun telah kusembunyikan sedalam-dalamnya. Seharusnya aku tidak berdusta pada beliau.

Aku paham maksud ayah, tetapi aku bukanlah beliau. Disebabkan oleh keadaan dan lingkungan, ditambah lagi kehidupan penuh perjuangan pasca aku harus berjauhan dengan ayah dan ibu, merantau sejak belia, semua itu membuat aku meremehkan ciri dan tingkah laku mulia yang diwariskan ayah sejak aku lahir. Akhirnya aku harus menerima cobaan yang berat dan mendapat kesusahaan yang benar-benar perih.

Di tengah kondisi begitu barulah aku sadar, l;alu kembali ke rel yang benar. Begitulah penyesalan selalu datang paling belakang. Aku sudah berusaha memupuk kesabaran dan tawakal itu, tetapi cobaan demi cobaan seakan tak mau berhenti mendera. Aku telah pasrah menerima itu, karena mungkin itu ganjaran bagiku yang telah salah mengurusi dan mengontrol diri sendiri.

Tetapi, benteng kesabaranku bobol juga saat aku tidak berada di samping istri dan anakku. Saat itu pulalah yang namanya cobaan tidak bisa kuterima lagi. Kegetiranku tak terhingga saat melihat isteriku terkapar di rumah sakit dan mendengar laporan bahwa Tiara – anakku satu-satunya – disepaki dan diinjak-injak oleh manusia-manusia bejat yang menganggap diri mereka sebagai manusia-manusia reformis.

Andai saja tempat usahaku dihancurkan dan isinya dijarah mungkin tidak terlalu masalah. Tetapi ini anak dan istriku dijadikan ajang kebiadaban! Itulah yang tidak bisa aku terima. Anak dan istriku samalah artinya dengan jiwa ragaku. Itu harus kubela, kupertahankan dan kuhadapi manusia-manusia bejat itu, walau nyawa tantangannya.

Memang isteri dan anakku mirip keturunan Cina, tetapi ibu mertuaku asli ketururnan sebuah keraton di tanah Jawa. Sementara, aku diisukan orang India.

Demi Tuhan, ibuku adalah anak almarhum Tuanku Sutan Kabasaran. Sejarahnya beliau pemangku adat dan penyiar Islam dari lereng gunung Singgalang, tepatnya dari Pandai Sikek. Sementara ayahku sendiri sampai sekarang masih disegani sebagai ulama di kampungku. Beliau juga keturunan penyiar Islam tempo doeloe di daerah Nan Sabaris.

Aku dan istriku dulunya bertemu di Ibukota, lantas kuboyong ke Kota Bingkuang, ibukota provinsi yang tak jauh dari kampung asalku, kemudian menjalani hidup baru dan merintis usaha yang juga baru.

Masalah wajah dan kemiripan itu adalah karunia Tuhan, kenapa keluargaku dijadikan objek kebiadaban? Di Ibukota yang terkenal beragam kejam, aku belum pernah diisengi orang, kok di kampung sendiri aku dihantam?

Lebih kusesalkan lagi, keluargaku diincar saat aku tidak berada di samping mereka. Aku tidak punya firasat kalau musibah itu terjadi saat di mana aku melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Seakan-akan aku membiarkan isteri dan anakku dianiaya orang dan mendapatkan mereka terbaring miris di rumah sakit.

Itulah yang menyebabkan tumbuhnya benih geram di hatiku. Para pendemo mungkin saja menganggap negeri ini sedang tak bertuan dan hokum pun sedang tak bergigi. Kesempatan pula bagiku untuk mencari tahu, apa maunya para perusuh tak bernurani itu. Aku akan mengambil tindakan sesuai dengan caraku pula.

“Hatimu keras sekali, Yuang. Hanya agama penyeimbangnya!” ayah mengejutkanku. Ia berjalan ke arahku, lalu mengambil pedang itu.

“Dengan izin Allah, mudah-mudahan pedangmu ini tidak akan melukai siapapun, tetapi bertenaga dahsyat untuk sekedar melumpuhkan,” lanjut ayah sambil tafakur sejenak dan mengusap pedang itu dari pangkal hingga ke ujungnya.

“  Pergunakanlah sebaik-baiknya dan selalu meminta perlindungan Allah. Aku tidak mau anakku menjadi seorang pembunuh,” ujar ayah lagi.

Tiba-tiba kudengar pecahan kaca berjatuhan disertai sorak-sorai segerombolan perusuh, sehingga menyentakkan lamunanku yang panjang. Batu-batu melayang, menghujani rumah dan pertokoan di kiri-kanan badan jalan Damar itu. Padahal baru beberapa hari lalu, pemandangan serupa  terjadi di lokasi tersebut. (bersambung)

Tidak ada komentar: