Welcome to oye

Selamat membaca....

Senin, 23 Juni 2014

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA II

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA (Bagian II) 



Cerita Bersambung Yanuar Emra 

Aku tak tahan lagi membendung emosi. Darahku mendidih, hatiku panas! Aku berlari ke arah perusuh yang jumlahnya cukup banyak tersebut.. Aku menghadang mereka dengan pedang terhunus.

“Hei, kalian bangsat, binatang, setan dan iblis!!! Siapa yang memerintahkan kalian?!” bentakku.

Mereka kaget dan serentak diam di tempat. Lebih dari seratusan pasang mata itu tertuju padaku. Namun, salah satu dari mereka berteriak sekaligus memberi perintah.  “Bunuh ! Bakar ! Bunuh !”

Mendengar itu, mereka semua menyerangku. Ada yang melempari aku dengan batu, ada yang memburuku dengan sabit dan pedang pula. Dalam keadaan begitu, akupun kalap. Namun, masih sempat bermohon kepada Tuhan agar tetap dalam lindunganNya.

“Allahu Akbar…” teriakku, sambil mengelakkan, menangkis juga membalas serangan manusia-manusia yang sedang dikuasai iblis dan setan itu.
Dan disanalah keajaiban yang jarang terjadi, terjadilah. Aku sedang dalam dekapan Allah Maha Pelindung. Tidak satupun batu, sabit dan pedang ataupun tindakan perusuh-perusuh itu menyentuh batang tubuhku.

Sementara itu, pedang yang kukibaskan ke sana ke mari, dengan maksud menghabisi mereka juga tidak menimbulkan korban berdarah, tapi berhasil membuat mereka roboh tak berdaya satu persatu. Mereka tergelatak diam di badan jalan, di tengah terik matahari. Aku berbalik cemas, matikah mereka(?), tanyaku dalam hati.

Aku berbalik kasihan kepada mereka. Dengan dibantu masyarakat yang bermunculan satu persatu, ditambah para jemaah yang barusan selesai shalat Jumat, kuminta para perusuh dipindahkan ke trotoar.

Aku sedikit tertunduk malu, ketika kusadari aku hanya menggunakan celana pendek tanpa baju, sementara sebagian lirikan masyarakat terus tertuju padaku; para pemilik ruko dan perkantoran yang mayoritas keturunan Cina itu, termasuk Dewi dan Mita juga ketahuan mengintipku dari balik jendela ruko masing-masing. Aku segera masuk kembali ke rukoku.

Kukembalikan pedang itu pada sarungnya dan meletakkannya di tempat semula, kemudian aku kenakan pakaianku seutuhnya, selanjutnya pintu ruko kubuka lebar-lebar. Setelah itu aku angkat gagang telepon, mudah-mudahan pihak berwajib masih setia dalam pelayanannya di masa multi krisis ini.

“Ya, siang kembali,” jawabku saat mendapat sambungan di seberang sana,

“Saya Yanki, saya beritahukan, didepan toko Nirvana Mustika, Jalan Damar nomor 666, sekitar seratusan lebih perusuh lumpuh dan rubuh. Silahkan bapak-bapak memeriksanya.”

“Siap, pak Yanki. Kami segera meluncur ke tekape,”

Baru saja kututup telepon itu, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah suara yang tak asing di telingaku.

“Bang…bang Yanki,” panggil Maryono, seorang anggota polisi dari Satuan Brimob Kepolisian Daerah setempat.

“Masuk, ada apa, Yon? “ tanyaku pada Maryono.

“Maaf, bang. Aku selalu telat datang saat dibutuhkan oleh keluarga.” sesalnya

“Tidak apa-apa, lagian kamu juga tugas pengamanan di lokasi lain kan?” hiburku.

“Bagaimana keadaan mbak dan Tiara sekarang?” tanya Maryono.

“Lumayan, sudah membaik.” jawabku.

Maryono memang sering bersinggah ke rukoku saat ia lepas dinas. Ia satu daerah asal dengan mertuaku, karena itu ia menganggap keluargaku adalah keluarga dia.

Maryono juga senang dengan barang daganganku, yaitu alat dan peralatan musik, terkadang ia mampir sebentar cuma untuk melatih jarinya diatas tuts-tuts sebuah keyboard. Ia pecinta musik. Karena Maryono masih bujangan, aku tak menampik bahwa ia melirik salah seorang karyawanku.

Terbukti Dewii turun dari persembunyian dilantai dua dan menghampiri kami. Senyum sumringah bergulir dari wajah Maryono saat menyambut Dewi.

“O, iya…bang. Didepan  danki kami mau bicara dengan abang.” kata Maryono.

“Ok, mari kita kesana” ajakku.

Aku tidak menyangka secepat itu gerak aparat mengatasi kejadian itu. Salut. Tapi sedikit menyayangkan fungsi intelijennya yang kurang cepat, sehingga antispasi telat dan perusuh itu duluan beraksi.

Warga masyarakat sudah tidak seberapa di sana, sementara para perusuh yang masih terkapar telah dilingkari oleh police line.

“Selamat siang, Pak...,” sapa komandan kompi itu, “Pak… Yanki, ya?”
“Selamat siang, Pak Pujono,” jawabku dengan sok akrab, padahal aku tahu namanya dari label di dada kanannya.

“Saya ikut prihatin atas terjadinya musibah yang menimpa Tje-tje, istri bapak.”

“Saya tambah prihatin lagi mendengar ucapan bapak itu. Saya tegaskan bahwa saya dan istri saya adalah anak Indonesia asli, pribumi, pak. Lebih jelasnya, pak Pujo bisa bertanya kepapada Maryono itu.” jelasku.

Lalu aku pergi meninggalkan danki Pujo beserta bawahannya. Ia hanya menambah rasa kesal saja, sementara para perusuh itu belum ada tanda-tanda mau diangkat atau diberi tindakan lainnya.

Jalanan kelihatan sepi. Hanya satu dua warga saja tersisa melihat-lihat kondisi perusuh itu. Beberapa regu aparat dari kompi Dalmas dan Pasukan anti Huru Hara datang menyusul. Mereka berjaga-jaga, informasi terbaru dari Maryono bahwa aka nada lagi demo yang lebih besar melewati jalan Damar itu.

Tiba-tiba sebuah taksi berwarna kuning, yang setahuku itu taksi bandar udara Tabing melaju kencang dari arah utara dengan kondisi lampu besarnya menyala. Taksi it terus melaju seakan tak menghiraukan barisan aparat di kawasan itu.

Tepat di depan tokoku, taksi itu berhenti mendadak. Gemerincing remnya memecahkan gendang telinga, membuat perhatian orang-orang tertumpu pada taksi itu. Dengan sigap sopir taksi itu turun. Rupanya dia juga seorang anggota dari pasukan elit bhayangkara itu,. terlihat jelas dari seragam pakaian dinas lapangannya. Ia langsung menerobos pita polisi dan menuju tumpukan para perusuh yang sedang terkapar.

“Kalian preman tai kucing, kalian harus mati…bangsat!” bentaknya sambil menyepak dan menginjak-injak para perusuh itu.

“Hey, tenang Kawan. Jaga nama baik korps kita,” cegah seorang aparat di sana.

Himbauan itu malah membuatnya semakin kalap, Ia bahkan mencabut revolver-nya.

“Aku muak dengan manusia setengah binatang ini. Mereka telah menyakiti keluargaku. Mereka pantasnya mati!” tambahnya, sambil tetap menghantam para perusuh itu.

Sebuah jip wilis tahun tua dari arah selatan juga melaju kencang. Dan berhenti mendadak di depan kantor koran tertua di ranah Minang, yang tepat berhadapan dengan rukoku. Kalau yang ini aku tahu, ia adalah Feri Lay dan benar keturunan Cina. Ia akrab dipanggil Lay saja. Aku dan Lay sudah lama berteman akrab. Mungkin juga seperti sahabat. Lay langsung memburu si aparat yang masih dikuasai amarah itu dan dan berani mendekapnya.

“Sudah, sudah…toh mereka sudah tidak berdaya,” lerai Lay.

Si aparat itu langsung patuh pada Lay. Aku heran, kok si Lay cukup bernyali dan membuat aparat itu patuh kepadanya. Aku mendekati mereka.

“Astaga” ucapku. Dia adalah Reza, adik kandungku yang nomor empat.. Kesatuannya di ibukota, Kenapa dia sampai nyasar kesini. Aku langsung memburunya dan mendekapnya pula kuat-kuat.  (bersambung)

Tidak ada komentar: