Welcome to oye

Selamat membaca....

Senin, 23 Juni 2014

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA III

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA (Bagian III)

 
Cerita Bersambung : Yanuar Emra 

Untuk mengaburkan pusat perhatian orang-orang di sana, Feri Lay mengajak Reza ke dalam ruko itu, Aku mengaitkan siku kananku ke siku kiri Reza dan menggiringnya ke ruko.

“Maaf, Kak…Aku telat dating,” kata Reza.

“Aku paham. Kami tidak pernah berharap kamu datang, karena kamu milik negara, bukan milik keluarga saja,” balasku.

Rezapun berhenti sejenak, menatap dan memelukku.

Hey, Reza…sampai juga kamu di Padang ya?” celutuk Maryono menghampiri kami, lalu menyalami Reza.

“Ya, sudah…di dalam saja lanjutkan,” perintah Lay.

Kami berempat menghilang dari kerumunan warga di badan jalan Damar itu, kemudian melanjutkan obrolan di dalam ruko.

“Di Jakarta, itulah yang kuhadapi setiap hari, demo dan kerusuhan hampir di seluruh pelosok ibukota. Aku betul-betul muak dengan semua itu. Untuk menengok keluarga yang kena musibah juga tidak diberi kesempatan. Hari ini aku cabut dari dinas, langsung ke sini via udara, setelah mendapat info dari Dewi dan Mita tadi pagi,” cetus Reza menjelaskan.

“Tapi, kenapa kamu tidak minta izin dulu? Itu bisa membahayakan posisi kamu.”

“Setiap aku minta izin selalu tidak mendapatkannya, aku sudah tanggung resikonya akan penanggalan baju ini.”

Kucuri pandang ke seluruh wajah dan tubuhnya. Wajar jika tadinya aku rada-rada lupa dengan Reza, karena badannya yang makin mekar dan tegar.

“Bang…!” panggil Maryono lagi, “ Aku barusan mendapat izin untuk menengok Mbak dan Tiara di kampung.”

 “Oke, terima kasih. Sekarang kamu ke atas, panggil calonmu itu,” jawabku dan menyuruhnya mencari Mita di lantai dua untuk membuatkan kami minuman.

“Ah, Abang ni, aku jadi malu sama si aparat dari ibukota ni,” balas Maryono tersipu.

“Sudah… sudah, pergi ke atas sana, aku juga sudah tahu kok,” sela Reza.

“Siap, laksanakan...!” canda Maryono.

Tak lama ditinggal Maryono, Danki Pujo datang menghampiri kami. Ia pun menyalami kami. Namun, Reza harus memberi sikap hormat tegap di tempat dulu, baru membalas salam Danki.

Sementara di luar ruko sepintas kulihat keramaian warga mulai meningkat. Hampir satu jam, pasca terkaparnya sekelompok perusuh itu, situasi masih aman dan terkendali. Tanda-tanda kerusuhan yang lebih besar lagi tidak kelihatan, kemungkinan provokatornya berurung niat untuk mennyusupkan aksinya, karena pergerakan dan penempatan aparat di beberapa titik rawan sudah dilakukan oleh para pengambil kebijakan.

Danki Pujo menjelaskan kepada kami bahwa kerusuhan beberapa waktu lalu itu tidak terlepas dari campur tangan provokator.

“Dari bahan dan keterangan yang kami peroleh, awalnya begini juga, kemudian si provokator bergabung dengan iring-iringan massa yang banyak. Di saat itulah mereka mulai memanasi dan membangkitkan emosi yang lainnya dan mulai terjadi pelemparan, pengrusakan, penjarahan dan pembakaran serta tindakan asusila. Kami sudah mengamankan sejumlah baket berikut sejumlah tersangka. Otak provokator sedang dalam buruan kami. Mudah-mudahan dalam jangka dekat kami bisa menangkapnya,” jelas Danki Pujo.

 “Ya, mudah-mudahan saja, Pak,” harapku sambil mempersilahkan Danki Pujo menikmati kopi hangat suguhan Maryono dan Mita.

“Tapi, kami meminta bantuan Pak Yanki untuk membangunkan kembali perusuh-perusuh itu, mengingat yang menidurkan mereka tadi adalah pak Yanki. Kami sudah usaha, kami kewalahan begitu juga pihak PMI (Palang Merah Indonesia – ed). Jadi, kami kembalikan ke Bapak,” pinta Danki Pujo.

“Reza, sekarang baru giliran kamu. Coba kamu bangunkan mereka dengan pedang itu. Terserah kamu, mau diapakan mereka dengan pedang itu, yang jelas tidak akan ada darah dan luka, walau kamu bacok dan kibaskan lagi ditubuh mereka. Dahului dengan menyebut nama Allah,” pintaku pula pada Reza.

“Hah, jangan bercanda, Kak..?!” jawab Reza bingung.

“Terus…, mau kita apakan? Yang merubuhkan mereka pedang itu, tidak ada salahnya dicoba membangunkan kembali pakai pedang itu pula.”

“Hayo, Rez!” perintah Danki Pujo.

“Si…siap, Komendan!” jawab Reza. Dengan kondisi bingung ia menerima pedang itu dari tanganku, lantas memburu para perusuh itu lagi. Kami pun mengiringinya.

Di luar sana emosi Reza kembali tersulut. Satu persatu perusuh itu dibacoknya. Alhamdulillah, berkat bacokan itu pula para perusuh terbangun. Satu perusuh dijatahi Reza dengan satu bacokan plus satu tendangan ekstra sepatu pe de el-nya. Aksi tersebut sempat menimbulkan pekikan dan kengerian warga, terutama kaum perempuan yang ikut menyaksikannya.

“Ayo, kalian naik sana.” bentak Reza, menyuruh para perusuh naik ke truk Dalmas dan PHH Polda setempat.

“Reza, pelan-pelan saja. Hasilnya sama. Ngapain kamu buang banyak tenaga?” hardikku.

Akhirnya seluruh perusuh terbangun dan siap dibawa markas aparat setempat untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawabannya.

Aku membawa Reza kembali ke dalam ruko. Lay meminta Reza menyerahkan kunci taxi kuning terparkir di tengah jalan yang masih diblokir aparat itu. Tak lama kemudian, satu jeep wilis tua, satu taxi bandara Tabing dan satu motor gede milik kesatuan Maryono sudah terparkir di depan ruko itu. Kami melanjutkan obrolan dan minum kopi siang itu.

“Lay, lu punya agenda apa, kita bisa pulang nggak?” tanyaku ke Lay, karena aku mengincar kendaraannya untuk pulang kampung.

“Dari patang-patang den ajak pulang. Angku iyo ndak baa manundo, tapi aden alun maliek kondisi Tiara, Malu den ka urang rumah angku. Sanak macam apo den dianggapnyo beko. Kini siap-siap, langsung wak pulang.” jawab Lay.

Aku hanya tertunduk  mendengar jawaban Lay yang telah kehilangan sebagian besar aset dan seluruh anggota keluarganya. Ia telah menyatakan badunsanak dengan aku berikut seluruh keluargaku.

Pasca kerusuhan tempo hari, Lay sempat menyarankan agar aku segera menutup usahaku, karena menurut feng-sui versi dirinya, ruko ini tidak akan menghasilkan apa-apa lagi. Ia berencana, dengan sisa asetnya yang ada, mengajak aku menekuni bidang perkebunan. Lay menyatakan diri siap tinggal dengan keluarga besarku di Pandai Sikek, kaki Gunung Singgalang itu.

“Hey, kalian melamun apa? Ayo siap-siap. Kita pulang kampung. Dan kalian, Dewi, Mita boleh pulang cepat. Ambil libur beberapa hari. Aku yang tanggung jawab. Kalau ada yang kangen sama sersan Maryono, silahkan menyusul,” ujar Lay lagi sambil menyindir Mita bercanda.

Kami mengikuti semua ajakan Lay. Dengan jip wilis tua yang masih betenaga prima itu aku, Reza, Maryono dan Lay di belakang setir, langsung berangkat menuju Pandai Sikek, sebuah daerah di kaki Gunung Singgalang. (tamat)
 

Yanuar Emra, lelaki kelahiran 5 Januari tahun ketumbar, berprofesi sebagai wartawan dan budayawan, berdomisili di Jakarta – editor: Zakirman Tanjung (tzakirman@gmail.com)

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA II

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA (Bagian II) 



Cerita Bersambung Yanuar Emra 

Aku tak tahan lagi membendung emosi. Darahku mendidih, hatiku panas! Aku berlari ke arah perusuh yang jumlahnya cukup banyak tersebut.. Aku menghadang mereka dengan pedang terhunus.

“Hei, kalian bangsat, binatang, setan dan iblis!!! Siapa yang memerintahkan kalian?!” bentakku.

Mereka kaget dan serentak diam di tempat. Lebih dari seratusan pasang mata itu tertuju padaku. Namun, salah satu dari mereka berteriak sekaligus memberi perintah.  “Bunuh ! Bakar ! Bunuh !”

Mendengar itu, mereka semua menyerangku. Ada yang melempari aku dengan batu, ada yang memburuku dengan sabit dan pedang pula. Dalam keadaan begitu, akupun kalap. Namun, masih sempat bermohon kepada Tuhan agar tetap dalam lindunganNya.

“Allahu Akbar…” teriakku, sambil mengelakkan, menangkis juga membalas serangan manusia-manusia yang sedang dikuasai iblis dan setan itu.
Dan disanalah keajaiban yang jarang terjadi, terjadilah. Aku sedang dalam dekapan Allah Maha Pelindung. Tidak satupun batu, sabit dan pedang ataupun tindakan perusuh-perusuh itu menyentuh batang tubuhku.

Sementara itu, pedang yang kukibaskan ke sana ke mari, dengan maksud menghabisi mereka juga tidak menimbulkan korban berdarah, tapi berhasil membuat mereka roboh tak berdaya satu persatu. Mereka tergelatak diam di badan jalan, di tengah terik matahari. Aku berbalik cemas, matikah mereka(?), tanyaku dalam hati.

Aku berbalik kasihan kepada mereka. Dengan dibantu masyarakat yang bermunculan satu persatu, ditambah para jemaah yang barusan selesai shalat Jumat, kuminta para perusuh dipindahkan ke trotoar.

Aku sedikit tertunduk malu, ketika kusadari aku hanya menggunakan celana pendek tanpa baju, sementara sebagian lirikan masyarakat terus tertuju padaku; para pemilik ruko dan perkantoran yang mayoritas keturunan Cina itu, termasuk Dewi dan Mita juga ketahuan mengintipku dari balik jendela ruko masing-masing. Aku segera masuk kembali ke rukoku.

Kukembalikan pedang itu pada sarungnya dan meletakkannya di tempat semula, kemudian aku kenakan pakaianku seutuhnya, selanjutnya pintu ruko kubuka lebar-lebar. Setelah itu aku angkat gagang telepon, mudah-mudahan pihak berwajib masih setia dalam pelayanannya di masa multi krisis ini.

“Ya, siang kembali,” jawabku saat mendapat sambungan di seberang sana,

“Saya Yanki, saya beritahukan, didepan toko Nirvana Mustika, Jalan Damar nomor 666, sekitar seratusan lebih perusuh lumpuh dan rubuh. Silahkan bapak-bapak memeriksanya.”

“Siap, pak Yanki. Kami segera meluncur ke tekape,”

Baru saja kututup telepon itu, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah suara yang tak asing di telingaku.

“Bang…bang Yanki,” panggil Maryono, seorang anggota polisi dari Satuan Brimob Kepolisian Daerah setempat.

“Masuk, ada apa, Yon? “ tanyaku pada Maryono.

“Maaf, bang. Aku selalu telat datang saat dibutuhkan oleh keluarga.” sesalnya

“Tidak apa-apa, lagian kamu juga tugas pengamanan di lokasi lain kan?” hiburku.

“Bagaimana keadaan mbak dan Tiara sekarang?” tanya Maryono.

“Lumayan, sudah membaik.” jawabku.

Maryono memang sering bersinggah ke rukoku saat ia lepas dinas. Ia satu daerah asal dengan mertuaku, karena itu ia menganggap keluargaku adalah keluarga dia.

Maryono juga senang dengan barang daganganku, yaitu alat dan peralatan musik, terkadang ia mampir sebentar cuma untuk melatih jarinya diatas tuts-tuts sebuah keyboard. Ia pecinta musik. Karena Maryono masih bujangan, aku tak menampik bahwa ia melirik salah seorang karyawanku.

Terbukti Dewii turun dari persembunyian dilantai dua dan menghampiri kami. Senyum sumringah bergulir dari wajah Maryono saat menyambut Dewi.

“O, iya…bang. Didepan  danki kami mau bicara dengan abang.” kata Maryono.

“Ok, mari kita kesana” ajakku.

Aku tidak menyangka secepat itu gerak aparat mengatasi kejadian itu. Salut. Tapi sedikit menyayangkan fungsi intelijennya yang kurang cepat, sehingga antispasi telat dan perusuh itu duluan beraksi.

Warga masyarakat sudah tidak seberapa di sana, sementara para perusuh yang masih terkapar telah dilingkari oleh police line.

“Selamat siang, Pak...,” sapa komandan kompi itu, “Pak… Yanki, ya?”
“Selamat siang, Pak Pujono,” jawabku dengan sok akrab, padahal aku tahu namanya dari label di dada kanannya.

“Saya ikut prihatin atas terjadinya musibah yang menimpa Tje-tje, istri bapak.”

“Saya tambah prihatin lagi mendengar ucapan bapak itu. Saya tegaskan bahwa saya dan istri saya adalah anak Indonesia asli, pribumi, pak. Lebih jelasnya, pak Pujo bisa bertanya kepapada Maryono itu.” jelasku.

Lalu aku pergi meninggalkan danki Pujo beserta bawahannya. Ia hanya menambah rasa kesal saja, sementara para perusuh itu belum ada tanda-tanda mau diangkat atau diberi tindakan lainnya.

Jalanan kelihatan sepi. Hanya satu dua warga saja tersisa melihat-lihat kondisi perusuh itu. Beberapa regu aparat dari kompi Dalmas dan Pasukan anti Huru Hara datang menyusul. Mereka berjaga-jaga, informasi terbaru dari Maryono bahwa aka nada lagi demo yang lebih besar melewati jalan Damar itu.

Tiba-tiba sebuah taksi berwarna kuning, yang setahuku itu taksi bandar udara Tabing melaju kencang dari arah utara dengan kondisi lampu besarnya menyala. Taksi it terus melaju seakan tak menghiraukan barisan aparat di kawasan itu.

Tepat di depan tokoku, taksi itu berhenti mendadak. Gemerincing remnya memecahkan gendang telinga, membuat perhatian orang-orang tertumpu pada taksi itu. Dengan sigap sopir taksi itu turun. Rupanya dia juga seorang anggota dari pasukan elit bhayangkara itu,. terlihat jelas dari seragam pakaian dinas lapangannya. Ia langsung menerobos pita polisi dan menuju tumpukan para perusuh yang sedang terkapar.

“Kalian preman tai kucing, kalian harus mati…bangsat!” bentaknya sambil menyepak dan menginjak-injak para perusuh itu.

“Hey, tenang Kawan. Jaga nama baik korps kita,” cegah seorang aparat di sana.

Himbauan itu malah membuatnya semakin kalap, Ia bahkan mencabut revolver-nya.

“Aku muak dengan manusia setengah binatang ini. Mereka telah menyakiti keluargaku. Mereka pantasnya mati!” tambahnya, sambil tetap menghantam para perusuh itu.

Sebuah jip wilis tahun tua dari arah selatan juga melaju kencang. Dan berhenti mendadak di depan kantor koran tertua di ranah Minang, yang tepat berhadapan dengan rukoku. Kalau yang ini aku tahu, ia adalah Feri Lay dan benar keturunan Cina. Ia akrab dipanggil Lay saja. Aku dan Lay sudah lama berteman akrab. Mungkin juga seperti sahabat. Lay langsung memburu si aparat yang masih dikuasai amarah itu dan dan berani mendekapnya.

“Sudah, sudah…toh mereka sudah tidak berdaya,” lerai Lay.

Si aparat itu langsung patuh pada Lay. Aku heran, kok si Lay cukup bernyali dan membuat aparat itu patuh kepadanya. Aku mendekati mereka.

“Astaga” ucapku. Dia adalah Reza, adik kandungku yang nomor empat.. Kesatuannya di ibukota, Kenapa dia sampai nyasar kesini. Aku langsung memburunya dan mendekapnya pula kuat-kuat.  (bersambung)

KARENA ISTERIKU MIRIP CINA I

KARENA ISTERIKU MIRIP CINA (Bagian I) 



Cerita bersambung: Yanuar Emra

Krisis yang muncul di medio 1997 lalu diprediksi hanya sebuah angin lalu saja, mampir sejenak, lantas akan hengkang begitu saja. Perkiraan itu meleset jauh. Krisis tersebut ternyata awal petaka bagi negeri tercinta ini.

Dari hari ke hari kondisi itu makin tegar bak batu karang, tak mampu dienyahkan oleh langkah apapun. Ia juga bagaikan cendawan tumbuh yang sangat subur di padang rawa, sembari berkelanjutan menebarkan multi krisis berikutnya, seperti krisis sembako, krisis moral, krisis kepercayaan dan aneka krisis lainnya.

Kerusuhan-kerusuhan begitu gampang tersulut. Amarah anak bangsa kian membara. Membakar rumah, toko dan perkantoran bagaikan acara api unggun raksasa di ujung emosi yang runyam, kemudian ditonton dan diteriaki ramai-ramai. Bahkan nyawa pun seakan lebih murah dari duapuluh ribu rupiah atau senilai satu dolar Amerika, saat kurs terburuk waktu itu.

Tengah hari di kawasan Damar itu suasana tampak sunyi-senyap. Hanya beberapa kendaraan bermotor saja masih lalu lalang di jalan yang biasanya padat dan macet itu. Sementara warga yang biasanya ramai, tak jelas ngumpet di mana.

Usai shalat Jumat, aku buru-buru pulang duluan menuju ruko kontrakanku. Di kiri kanan ruko itu kebanyakan pengusaha dan pedagang bermata sipit, mereka telah menutup ruko lebih awal. Rolling door rukoku-pun sudah separo tertutup. Di dalamnya, dua karyawan menyambutku dengan wajah cemas. Maklum mereka menykasikan sendiri kerusuhan beberapa hari lalu.

“Kok ditutup?” tanyaku.
“Kata orang, demo hari ini akan lebih gawat lagi, Pak,” jawab Mita, satu di antara beberapa karyawanku.
“Saya ingin melihat seberapa gawatnya,” kataku.

Mita dan Dewi terdiam, kemudian saling pandang.
“Sekarang kalian buka lagi, kemudian kalian boleh pulang,” perintahku.

Keduanya semakin heran, dan bersegera mengikuti suruhanku. Namun, baru saja hendak membuka rolling door itu, mereka berhamburan kembali ke dalam.

“Pak…mereka sudah sampai di lampu Belakang Olo sana. Mereka banyak banget, Pak,” teriak Dewi histeris.

“Oke, kalian segera pulang atau boleh berlindung di lantai dua sana,” perintahku lagi.

Aku pun buru-buru ke luar. Ya, ada pergerakan demonstrator dalam jumlah besar, di traffic light, yang tak jauh dari ruko-ku. Tak lama kemudian, aku kembali ke dalam dan masuk kamar yang juga sebagai ruang kerjaku.

Kugantung peci dan tasbih di dinding. Kubuka sarungku, juga baju koko-ku, kecuali celana pendek yang kubuat sendiri dari jeans bekas. Kemudian kuambil sebuah pedang, yang memang sudah kusembunyikan di samping meja. Pedang itu sudah kuasah setajam-tajamnya tadi malam, saat aku berada di kampungku di Lereng Gunung Singgalang sana.

“Untuk apa itu,” tanya ayahku malam itu.
“Cuma membersihkannya, Ayah. Lama tidak dipakai, sudah karatan,” jawabku sedikit berdusta.

Ayahku terdiam sambil menyulut Gudang Garam merah-nya. Sambil mengasah pedang itu, mataku sesekali melirik ayah yang terus mengamati aku.

“Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan. Hadapilah dengan tabah dan tawakal. Itu merupakan cobaan dan berdoalah agar terhindar dari cobaan lebih besar lagi.” pinta ayahku lagi.

Ayah selalu dapat membaca maksudku walaupun telah kusembunyikan sedalam-dalamnya. Seharusnya aku tidak berdusta pada beliau.

Aku paham maksud ayah, tetapi aku bukanlah beliau. Disebabkan oleh keadaan dan lingkungan, ditambah lagi kehidupan penuh perjuangan pasca aku harus berjauhan dengan ayah dan ibu, merantau sejak belia, semua itu membuat aku meremehkan ciri dan tingkah laku mulia yang diwariskan ayah sejak aku lahir. Akhirnya aku harus menerima cobaan yang berat dan mendapat kesusahaan yang benar-benar perih.

Di tengah kondisi begitu barulah aku sadar, l;alu kembali ke rel yang benar. Begitulah penyesalan selalu datang paling belakang. Aku sudah berusaha memupuk kesabaran dan tawakal itu, tetapi cobaan demi cobaan seakan tak mau berhenti mendera. Aku telah pasrah menerima itu, karena mungkin itu ganjaran bagiku yang telah salah mengurusi dan mengontrol diri sendiri.

Tetapi, benteng kesabaranku bobol juga saat aku tidak berada di samping istri dan anakku. Saat itu pulalah yang namanya cobaan tidak bisa kuterima lagi. Kegetiranku tak terhingga saat melihat isteriku terkapar di rumah sakit dan mendengar laporan bahwa Tiara – anakku satu-satunya – disepaki dan diinjak-injak oleh manusia-manusia bejat yang menganggap diri mereka sebagai manusia-manusia reformis.

Andai saja tempat usahaku dihancurkan dan isinya dijarah mungkin tidak terlalu masalah. Tetapi ini anak dan istriku dijadikan ajang kebiadaban! Itulah yang tidak bisa aku terima. Anak dan istriku samalah artinya dengan jiwa ragaku. Itu harus kubela, kupertahankan dan kuhadapi manusia-manusia bejat itu, walau nyawa tantangannya.

Memang isteri dan anakku mirip keturunan Cina, tetapi ibu mertuaku asli ketururnan sebuah keraton di tanah Jawa. Sementara, aku diisukan orang India.

Demi Tuhan, ibuku adalah anak almarhum Tuanku Sutan Kabasaran. Sejarahnya beliau pemangku adat dan penyiar Islam dari lereng gunung Singgalang, tepatnya dari Pandai Sikek. Sementara ayahku sendiri sampai sekarang masih disegani sebagai ulama di kampungku. Beliau juga keturunan penyiar Islam tempo doeloe di daerah Nan Sabaris.

Aku dan istriku dulunya bertemu di Ibukota, lantas kuboyong ke Kota Bingkuang, ibukota provinsi yang tak jauh dari kampung asalku, kemudian menjalani hidup baru dan merintis usaha yang juga baru.

Masalah wajah dan kemiripan itu adalah karunia Tuhan, kenapa keluargaku dijadikan objek kebiadaban? Di Ibukota yang terkenal beragam kejam, aku belum pernah diisengi orang, kok di kampung sendiri aku dihantam?

Lebih kusesalkan lagi, keluargaku diincar saat aku tidak berada di samping mereka. Aku tidak punya firasat kalau musibah itu terjadi saat di mana aku melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Seakan-akan aku membiarkan isteri dan anakku dianiaya orang dan mendapatkan mereka terbaring miris di rumah sakit.

Itulah yang menyebabkan tumbuhnya benih geram di hatiku. Para pendemo mungkin saja menganggap negeri ini sedang tak bertuan dan hokum pun sedang tak bergigi. Kesempatan pula bagiku untuk mencari tahu, apa maunya para perusuh tak bernurani itu. Aku akan mengambil tindakan sesuai dengan caraku pula.

“Hatimu keras sekali, Yuang. Hanya agama penyeimbangnya!” ayah mengejutkanku. Ia berjalan ke arahku, lalu mengambil pedang itu.

“Dengan izin Allah, mudah-mudahan pedangmu ini tidak akan melukai siapapun, tetapi bertenaga dahsyat untuk sekedar melumpuhkan,” lanjut ayah sambil tafakur sejenak dan mengusap pedang itu dari pangkal hingga ke ujungnya.

“  Pergunakanlah sebaik-baiknya dan selalu meminta perlindungan Allah. Aku tidak mau anakku menjadi seorang pembunuh,” ujar ayah lagi.

Tiba-tiba kudengar pecahan kaca berjatuhan disertai sorak-sorai segerombolan perusuh, sehingga menyentakkan lamunanku yang panjang. Batu-batu melayang, menghujani rumah dan pertokoan di kiri-kanan badan jalan Damar itu. Padahal baru beberapa hari lalu, pemandangan serupa  terjadi di lokasi tersebut. (bersambung)

Minggu, 18 Mei 2014

PUTRI SELAT SUNDA

PUTRI SELAT SUNDA
Cerpen:  Yanuar Emra

CUKUP lama aku tidak merasakan hembusan angin di Selat Sunda ini. Sementara perubahan besar juga telah terjadi di pelabuhan Merak, terutama soal pelayanan jasa Pelni yang kini berganti Angkutan Sungai Danau dan Pulau (ASDP) ini. 

Wajah beringas para preman pelabuhan dulu itu kini berganti senyum sumringah para petugas yang melayani masyarakat penyeberang.  Aku salut untuk sistem pelayanan yang baik ini.

Bagaikan mengulangi nostalgia lebih seperempat abad lalu, saat hendak kembali ke Ranah Minang pasca musim liburan sekolah.  Dulu itu, setiap usai ujian kenaikan kelas masa SMP dan SMA , aku menikmatinya di Jakarta, bersilaturahmi ke rumah sanak famili di Ibukota. Bedanya, dulu itu aku mesti naik bus Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP) seperti ANS, NPM, KMS dan sejenisnya. 

Kini, di dinihari ini, aku mesti menyeberangi Selat Sunda sendiri di atas Pajero Sporty yang bertengger di atas kapal ferry milik ASDP ini. Tujuanku menyeberang kali ini bukan untuk pulang kampung, tetapi mengantar mobil mewah milik seorang teman, seorang pamen polisi di wilayah hukum Provinsi Bengkulu. Tak sedikit pun aku menduga bisa berangkat sendiri, menyetir sendiri, dan maaf…dengan kondisi SIM yang sudah mati 4 tahun lalu. 

“Da Yan, aku minta tolong antarkan mobil ke Bengkulu, bisa kan?” begitu suara seorang Ajun Komisaris Besar Polisi  (AKBP) yang baru saja lulus Sespim dan bertugas di Polda Bengkulu. 

“Siap, Pak, dilaksanakan.” jawabku singkat. 

Saat calling permintaan tolong mendadak itu, aku sendiri sedang dalam masa transisi yang hebat di bidang pekerjaan. Aku akan menganggap perjalanan Jakarta - Bengkulu itu sebagai ajang refreshing, karena memang belum pernah pula ke Bengkulu. Padahal beberapa hari sebelumnya, aku bertengkar habis-habisan dengan seorang pejabat dan berujung aku harus meninggalkan pos di sana. 

Apakah aku terlalu idealis? Mungkin tidak juga! Aku hanya menagih hak, usai kewajiban telah kutunaikan. Masalahnya sudah kulaporkan ke 3 pimpinan tertingginya di Padang. Namun, sayang ketiga “raja” di Sumbar itupun tak menunjukkan keberpihakan kepadaku. 

Mereka benar-benar menyayangi anak buahnya, si pejabat penjilat itu. Hanya bos-ku yang tetap menyarankan agar tetap tegar menghadapi masalah tersebut. 

Aku mesti ikhlas, tapi tetap berujar dalam hati, “Baiklah, tak selamanya kalian akan menjadi pejabat, paling setahun lagi juga habis!” 

Oh, iya…di masa sulit itu pula terjadi perubahan sikap dari teman-teman, yang boleh dibilang teman selapik - seketiduran dan teman seiring sejalan.  Satu-persatu menjauh.  Pertanyaanku dalam hatiku; apakah mereka juga seorang penjilat pantat pejabat dan kuatir kehilangan pos pula, jika tetap bertemankan aku? 

Entahlah. Aku tak peduli itu. Aku hanya berserah kepada-Nya.

Kini aku di atas kapal ini dengan mobil mewah, bersurat lengkap, kwitansi jual beli dan BPKB di tanganku. Di samping sebagai teman baik semasa di Kalimantan dulu, pamen polda itu mengaku lebih nyaman jika aku yang mengantarkan mobilnya. 

Kepercayaan yang diberikannya adalah sebuah penghargaan bagiku, sekaligus mempertontonkan kepada teman-teman yang mulai cemas melihatku.  Saat aku kepepet meminjam kendaraan mereka, hanya sebatas ibukota saja, mereka tak meluluskan permohonanku itu. 

Ini mobil ratusan juta harganya, milik seorang pamen pula, justru mempersilahkan, aku mau pakai berapa lama dulu di Jakarta ini, terserah kapan aku siap mengantarnya ke Bengkulu.  

*** 

Dinihari, menjelang subuh, di atas kapal ferry itu, jam baru menunjukkan angka 3. Aku turun dari mobil dan menguncinya di parkiran. Aku mencari tempat duduk di ekor kapal, karena mata belum mengundang kantuk. Aku memilih sebuah sudut kecil di buritan kapal itu, tak jauh dari parkiran mobil. 

Para pemudik lain pun juga mengambil bagian di sana, sebagian malah ada yang sudah tertidur menjelang kapal berangkat. 

“Mas…, Mas, sini,” kataku memanggil seorang pemuda dengan bakul berisi aneka soft drink dan sebuah termos di tangannya. 

“Airnya panas ngga?” tanyaku setelah dia mendekat. 
“Ya, panas-lah, Mas,” jawabnya. 
“Tolong bikinin kopi satu ya,” pintaku. 
“Kopi hitam apa putih, Mas?” tanyanya lagi. 
“Hitam, eh… sampeyan dari kapal atau dari bawah?” tanyaku balik.

Aku penasaran saja apakah anak muda pedagang kopi itu merupakan anak buah kapal atau pedagang kambuhan seperti 25 tahun lalu itu.

“Saya dari kapal, Mas. Ngga ada lagi yang dari bawah, ngga boleh,” jelas pemuda itu sambil menyerahkan kopi hitamku, bertukarkan rupiah delapan ribu rupiah. 

Kunikmati hangat kopi itu disertai sebatang Dji Sam Soe sambil menunggu kapal bertolak dari Pelabuhan Merak itu. Aku memandangi cantik malam bertabur banyak bintang, lalu pandanganku terfokus kepada gelombang-gelombang kecil air laut beriak di samping buritan kapal.  Gelombang beriak kecil itu terkadang berkumpul, menyatu menangkap kerdipan bintang di langit, lalu memantulkan kembali percikan cahaya indah, lebih indah dari aneka screen spectrum skin MP3 player di laptop-ku dan di layar pemutar audio Pajero itu. 

Semakin kupandangi cahaya bentukan gelombang laut malam itu, terlihat semakin cantik dan semakin indah. Sesaat kemudian, pandanganku bagaikan ditarik magnet yang sungguh kuat dari bawah itu.  Aku makin terpaku dan terpana melihat pantulan cahaya itu… dan aku terperanjat kaget, kala cahaya itu menyerupai sebuah sosok yang membiusku. 

Gelombang itu melambat, namun tetap menghimpun cahaya, kemudian menampilkan sebuah wujud wanita yang sangat cantik. 

Aku sedikit merinding dan langsung berhenti memandangi wujud itu, kemudian segera membalikkan badan menghadap ke lambung kapal. Di sana pemandangan berbeda, para penumpang yang bersantai tadi, nyaris tidak ada yang terbangun lagi, mereka tertidur di lantai kapal, beralaskan tikar seadanya atau koran bekas.

Sesaat kemudian, dentuman klakson kapal memecah kesunyian malam itu. Saatnya ia bertolak dari Merak menuju Bakauheni. Namun, aku tidak mau beranjak dari tempat duduk itu, meski sempat dikagetkan oleh penampakan wujud tadi. Aku berprinsip; alamnya ya alamnya, duniaku ya duniaku. 

Perjalanan dari Matraman tadi sudah kupasrahi dengan Bismillah, aku yakin berada dalam perlindungan-Nya. 

Perlahan kapal meninggalkan pelabuhan, hingga akhirnya semakin menjauh, mengarungi tengah Selat Sunda. Dari kejauhan, sesekali aku masih memandangi keindahan Pelabuhan Merak di malam hari, tanpa berniat lagi memandangi wujud tadi. Dan kuteguk lagi sisa kopi yang sudah tidak hangat, diiringi dengan isapan rokok kretek batangan kedua.

Udara di buritan kapal itu sangat bersahabat. Meski angin terasa sedikit kencang akibat laju kapal, ia kuanggap sepoi-sepoi saja dan kubutuhkan untuk membelai tubuhku yang sudah terbungkus jaket, agar tidak menimbulkan gerah.

Di sisi berlawanan arah dengan tempat dudukku, masih ada 3 orang penumpang yang masih asyik teribat obrolan, sementara penumpang lainnya sudah terbuai oleh mimpi masing-masing. 

Kopiku habis, rokok pun juga nyaris habis. Aku mengeluarkan senjata-senjata tersembunyi dari tas kecil yang selalu kubawa ke mana-mana. Di antaranya mini handycam, camera digital, beberapa alat tulis dan sebuah buku kecil. Satu pena mulai kutarikan di atas lembaran buku kecil itu. 

Aku berniat menulis cerita tentang Kebesaran dan Keangungan Tuhan malam ini dan mengabadikan kekayaan hati orang yang benar-benar kuanggap berisikan nurani. Namun, baru beberapa paragraf kata tertulis, aku mulai diserang rasa mengantuk. Aku berusaha melawannya dan tetap tak beranjak dari tempat nyaman tersebut.  

*** 

Seorang wanita atau seorang gadis berkerudung modis tiba-tiba muncul dari arah parkiran. Ia sempatkan menyentuh rusuk kanan Pajero itu. Ia pandangi sejenak, kemudian ia bergerak ke arahku.

“Sendirian, Bang? Saya Lala,” tanyanya sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan. 
“Iya, Mbak. Saya Iyan. Dingin di sini, kenapa turun?” tanyaku balik. 
“Bosan di atas, makanya cari angin juga-lah. Abang dari tadi kok betahan di sini? Kan dingin,” tanyanya lagi. 
“Saya takut ketiduran. Mungkin kira-kira satu setengah jam lagi kita sampai di Bakauheni,” jawabku. 
“Bang, sendirian kan ke Bengkulu, saya boleh ikut?”

Aku kaget. Kok dia tahu aku sendirian dan tahu tujuanku lagi. “Emang mba Lala tadinya juga sendiri dari Jakarta?” 

“Bukan dari Jakarta, saya dari Merak. Buru-buru berangkat ke Bengkulu, ada keluarga yang meninggal. Boleh ya, Bang?” 

Aku mengangguk. Lagian tidak ada salahnya memberikan tumpangan. Memang aku sendiri kok. Lalu terjadi obrolan lebih panjang di antara kami. Lala menjelaskan bahwa ia seorang dosen disebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Provinsi Banten. Ia baru saja meraih gelar doktor dari sebuah PTN di Bogor dan baru beberapa bulan ini kembali aktif mengajar di kampusnya. 

Lala juga menceritakan kalau dia juga sudah jarang menggunakan jasa angkutan kapal laut dan bus AKAP, dengan pertimbangan waktu dan peruntukan beli tiket pesawat udara selalu tersedia. 

Kepulangan mendadak dan menggunakan kapal laut trus dilanjutkan dengan angkutan darat kali ini, terpaksa harus dijalaninya, karena juga mengingat waktu untuk menyaksikan prosesi pemakaman suami adiknya. “Jika naik pesawat jelas tidak keburu,” katanya. 

“Oke, saya mengerti. Dan, saya janji secepatnya bisa mencapai Bengkulu, mumpung pake Pajero sehat itu. Tapi, maaf ni yaa…, kenapa Mba Lala pulang sendiri, kenapa suami Mbak ngga dibawa juga?” 

Lala terdiam sejenak, sepertinya ia berusaha untuk tidak menjawab. Tapi akhirnya ia menjawab juga. 

“Saya jelaskan deh, saya belum menikah. Mungkin karena sekolah nambah terus. Saya mungkin lebih muda kira-kira 10 tahun dari Abang. Kini saya sudah 34 tahun, adik saya dua orang cewek juga,  sudah menikah semua,” gadis itu terdiam sejenak. 

Lalu, setelah mengatur napas, ia melanjutkan, “Kenapa saya belum menikah? Tentu Abang akan nanya lagi. Saya jawab langsung, dengarin aja.” 

Lala pun mengurai kisah. Sebenarnya dia punya pacar yang sangat setia, setidaknya ia mengira begitu. Sebab, hubungan mereka sudah sangat lama dan begitu dekat. Kira-kira sudah 10 tahunan-lah mereka pacaran. 

“Saat saya ajak menikah, dia masih berjanji-janji, karena dia seorang wartawan berfinansial lemah. Dia bagaikan pekerja sosial dan pekerja kemanusiaan saja. Mirisnya, hingga terakhir kami putus, kehidupan dan kondisi keuangannya tidak berubah,” cetus Lala, suaranya terdengar bergetar. 

Pria yang dia kasihi itu, kata Lala, mengaku malu dan minder dengan kondisi begitu menikahi seorang dosen, yang bergelar doktor. “Padahal, saya ikhlas menerima dia, karena keberhasilan saya ini, tidak terlepas dari perannya dalam masa 10 tahun itu,” ujarnya dengan pandangan menerawang. 

Maret tahun lalu, mereka putus secara baik-baik. Sejak itu pula, Lala tidak mendengar kabar apapun dari dia, juga tidak berhubungan sama sekali, baik dengan telepon, SMS, BBM, email, facebook, twitter, YM atau media komunikasi lainnya. Apalagi ketemuan, juga tidak pernah lagi. 

“Di hati kecil, saya ingin dia hadir saat saya wisuda doktor, November lalu.kemudian segera menikah. Tapi, ya beginilah akhirnya. Begitu, Bang Iyan-ku…,” papar Lala sudah mulai bercanda dan mengakhiri ceritanya. 

Aku tidak bertanya-tanya lagi kepada Lala. Aku hanya heran dan mengangguk-angguk sendiri. Pertama, dia tahu pesis usiaku. Kedua, pacarnya juga seorang wartawan, punya kemiripan kondisi denganku.  Ketiga, aku justru yang dibuang oleh seseorang saat karirnya merangkak hebat naiknya. Tetapi ya, sudahlah…tidak ada guna mengingat dan menghitung-hitung  lagi, sesuatu yang tidak mungkin lagi bersatu. 

“Huh…si Abang melamun. Saya dicuekin,” ujar Lala lmembuyarkan.  
“Eh, sorry, mba…Lanjut masih ada ceritanya?” 
“The end, ngga ada cerita lagi. Kita sudah sampai di Pelabuhan Bakauheni. Ayo kita ke mobil Abang,” ajak Lala. 

Seiring dentuman klaksonnya menyambut pagi Bumi Lampung,  kapal itu segera merapat. Aku dan Lala sudah berada di dalam Pajero dan siap-siap menunggu antrian turun dari kapal. 

“Abang, sebentar ya…aku mau pipis bentar, ngga sanggup nahan. Titip tas cantik saya ya, Bang.” 
“Oke, cepat dikit ya.” 

Lima menit kemudian Lala masuk kembali ke mobil. Aku mencoba beranikan diri memandanginya dalam-dalam, mumpung pagi sudah mulai terang. Aku pengen tahu seberapa cantik gadis 34 tahun ini. Wow, luar biasa! Memang seorang dosen yang menawan. 

“Iiiih…jangan genit deh, Bang! Jangan lama-lama gitu dong liatin saya. Ntar saya juga jatuh hati ke abang, kan repot. ha…ha…ha,” ujar Lala bercanda lagi. 

***

Aku kembali terpaku dan mencoba menelusuri wajah secantik yang dipunyai Lala ini. Di mana ya rasanya pernah bertemu? 

“Pak…, Pak…, Ppaaaaaaaak…!” tiba-tiba seorang petugas menggedor kaca mobil Pajero ini dari samping kananku. Aku segera membuka kacanya. 

“Ya ada apa mas?” tanyaku balik. 

“Bapak dipanggil-panggil dari tadi,  kok diam aja. Bapak jalan, giliran turun,” perintah petugas itu.

“Oke, siap-siap menuju Bengkulu ya, Mbak Lala…, Mbak… Mbaaaak…!” 

Aku mendadak heran. Kulihat ke bangku belakang, Lala ke mana ya? Kulihat tasnya masih ada. Aku turun dari mobil dan menanyai petugas itu. 

“Mas, lihat ibu keluar dari mobil saya barusan, tunggu bentar ya,”  pinta saya ke petugas itu. 

“Bapak jangan ngawur. Mobil bapak tinggal satu-satunya di kapal ini. Dari tadi kami bangunin bapak, hingga kami terpaksa menggedor kaca mobil bapak. Tidak ada ibu-ibu yang keluar dari mobil ini. Bapak sendirian kok dari tadi malam. Kami mengamati semua pemilik mobil,” terang petugas itu. 

“Oh, iya… maaf. Tapi….” 
Sudahlah, Pak. Atau mobilnya mau dibawa ke Jakarta lagi? Tinggal Bapak yang kami pandu untuk turun.” 
“Iya, baik…,terimakasih.” 

Dalam kondisi benar-benar heran, aku nyalakan mobil tanpa memanaskan mesin dulu, langsung tancap gas dan turun dari kapal itu. Sampai di dermaga, kucari parkiran yang sedikit nyaman, lantas berhenti sejenak. Aku menunggu Lala, karena tasnya masih bersamaku. 

Tak sabar menunggu di mobil, aku berusaha mencari di sekitar kapal. Namun, aku tak kunjungi melihat wajah Lala, bahkan setelah meminta bantu bagian informasi pelabuhan agar memberi tahu keberadaanku lewat pengeras suara. 

Aku kembali ke mobil, memberanikan diri membuka tas Lala, mungkin ada dompetnya berisikan kartu identitas seperti KTP, SIM atau apa saja. Haaah…? 

Aku tambah kaget lagi, tas itu dipadati oleh  uang kertas rupiah berdigit 1 diikuti 5 nol di belakangnya. Wow…! Ada ikatan uang kertas US dollar juga. Nah, pada ikatan paling atas ada sebuah kartu nama; Dr Ir BB Lala MSi, dosen Univeristas titik-titik, Banten. 

Kuambil kartu nama itu, lalu menutup rapat-rapat tas itu dan mengamankannya di bawah jok. Lantas, aku kembali petugas kapal, dengan maksud men-cek penumpang yang bernama Lala itu. Hasilnya juga nihil, tidak ada penumpang yang bernama tersebut. 

 “Pak, dapat di mana kartu nama itu?” tanya seorang petugas ASDP.  
“Saya dikasih sendiri sama yang bersangkutan di atas kapal tadi,” jawabku sedikit berbohong. 

“Oo ya… saya mau cerita. Pemilik nama itu memang pernah tercatat sebagai penumpang ferry ini, tapi setahun silam, Pak. Dia menghilang misterius dalam perjalanan penyebrangan laut antara Merak dan Bakauheni ini.  Kami menemukan tas,  dompet dan HP, lalu mengontak keluarganya di Banten. Konon, hingga sekarang belum ditemukan jasadnya,” terang petugas paroh baya itu.

Dengan sedikit kecapean, aku melangkah  gontai ke arah mobil. Antara sedih, penasaran dan ingin kembali bertemu Lala, aku masuk ke mobil. Saat mencek tas itu lagi, eh malah ada sebuah coretan di atas buku kecilku, yang terletak di kursi samping kiri:

Pergunakan sebaik-baiknya ya, Abang-ku. Gunakan untuk memperbaiki kondisi finansial Abang. Saya tahu, abang sangat menyukai dunia jurnalistik. Teruslah jadi pekerja sosial dan pekerja kemanusiaan di bidang itu. Tetapi, bangunlah bisnis sampingan dengan Rp0,5 miliar dan US$ 50 ribu ini. 

Abang kan punya anak semata wayang, punya ayah dan bunda, ponakan, saudara dan sebagian teman-teman yang masih baik.  Sudah saatnya pula abang tebarkan manfaat diri abang untuk mereka. Demikian, Abang. Terimakasih atas waktunya kita ngobrol dan bercanda singkat di atas kapal tadi. Saya tidak jadi ke Bengkulu, cukup sampai di sini saja. 

Dari Lala, si cantik Selat Sunda  

Aku jajal Pajero itu sekencang-kencangnya menuju Bengkulu. Menelusuri Kota Bandarlampung, Kota Agung, terus melewati Bukit Kemuning, Liwa dan  Krui. Kemudian merayap cepat, naik-turun menyusur pantai barat Bukit Barisan melewati Bintuhan menuju Kota Manna. 

Walau kencang, aku tetap hati-hati dan perhitungan, hingga akhirnya aku sampai di Kota “Raflesia” Bengkulu dengan selamat sekitar pukul setengah dua belas malam. Aku selamat, mobil tanpa cacat, tas pemberian Lala-pun masih lengkap dengan isinya.

Sesuai permintaanku pada Pak AKBP, aku kembali ke Jakarta dengan City Link flight pertama paling pagi. Tak kupikirkan soal istirahat. Aku akan istirahat di atas keempukan tas pemberian Lala di Jakarta nantinya. 

Diantar Pak Pamen Polda itu, aku tiba di Bandara Fatmawati Soekarno untuk selanjutnya terbsang menuju Soekarno-Hatta. (tamat) . 

*) Penulis adalah penyair dan jurnalis. Sekarang tinggal di DKI Jakarta 

Selasa, 13 Mei 2014

Yanuar Emra Seni Budaya Puisi  BELUM PUTIH
Minggu, 11 Mei 2014 - 13:19:31 WIB



BELUM PUTIH
Karya : Yanuar Emra *)

Belum kusebut badai ini merobek layarku
Takkan kubiarkan perahu ini kandas
Meski karang itu gagah mengancam

Siang dan malam berkemiripan
Mengurai gelap menyamarkan arah
Tapi langkah ini butuh terus diayunkan

Selagi jiwa ini beriringan dengan cerah hati
Biarlah raga susut dimakan hari
Aku terima rumit pencarian sebuah arti

Aku tahu ini giringan-Mu
Berputar…berliku…menurun…dan mendaki
Panas…dingin…cadas dan tajam
Meski aku dikembalikan ke garis awal

Selagi detak didada ini masih Engkau izinkan
Selagi merah dipembuluh ini masih mengalir
Belum kuangkat sang-saka warna putih

Namun, kumengadu kepada-Mu lagi
Rasanya ini di sisa yang tertatih-tatih
Sepoi angin tak-kan mampu mendorong-ku
Aku khawatir tidak sampai ke titik janji-Mu

Maka luruskanlah yang berliku
Ratakan  keterjalan, tiadakan cadas
Singkatkanlah waktuku mencapai gerbang-Mu
Dan berikanlah giliranku disinari cahaya baru.
(jakarta, disuatu dini, 09 mei 2014)



*) Penulis adalah seniman dan jurnalis, sekarang tinggal di Jakarta
- See more at: http://www.sumbaronline.com/berita-19025-puisi--belum-putih.html

Pembunuhan Cinta

yane

CERPEN ; Pembunuhan Cinta

Karya : Yanuar Emra *)

KETIKA segala rasa tak mampu lagi kubendung dan getar hati semakin tak beraturan, saat itulah batinku berontak, menuntut sebuah kepastian darimu, apakah irama hatiku senada dengan nyanyian hatimu.

Bagaimanapun aku manusia biasa, punya rasa dan perasaan berbuah cinta yang tidak bisa kubunuh, karena cinta merupakan anugerah, datang begitu mengalir. Kucoba untuk tidak menurutkan kata hati, karena akan berbuah sebuah resiko tinggi. Kamu objek cintaku, adalah kamuTiara, adik tersayang dari bos-ku.

Diposisiku sebagai pekerja diperusahaan kakakmu, aku semakin mengutuk diriku, mengapa aku bertemu kamu disini, mengapa benih cinta yang sama-sama kita tabur begitu cepat bertumbuh dan kau telah merasuki di jiwa ini.

Aku semakin gila karena kasih yang kau sulut. Tanpa sadar bibit ini terpupuk alami dan subur disanubari. Namun kepastian masih tetap kau samarkan. Kau bagaikan sebuah teka-teki. Setiap aku mendesak kamu menyusun rencana, bahwa cinta ini harus segera dituai dan diikatkan dalam rajutan tali pernikahan, kamu selalu mengalihkan pembicaraan ke lain tema.

Terus terang, aku mengharapkan kamu tanpa embel-embel. Aku mendambakanmu bukan untuk mengeruk kekayaan keluarga kamu. Aku menganggap kamu adalah sebuah mutiara diantara berjuta insan disini. Aku punya firasat, kamu adalah yang terbaik dan sosok pendamping abadi bagiku.

Targetku hanyalah kamu beserta ketulusan hatimu menerima aku, jadi bukan harta keluarga kamu. Itupun akan aku sepadankan dengan ketulusanku menyayangi dan mencintai kamu selamanya.

Disuatu sore, karena cinlok ini tidak bisa kita pentaskan di lokasi terdekat dengan area keluarga kamu, kitapun kembali mencuri waktu, mencari tempat lain. Kita menikmati sore indah di Banjir Kanal Timur (BKT).

Aku hanya butuh kenyamanan, untuk mengutarakan segala rasa yang masih mengganjal di hati, dimana tak mampu lagi kudiamkan akhir-akhir ini.

“Tiara, aku capek menunggu, aku cuma pengen tahu, apakah aku bertepuk sebelah tangan?” tanyaku sore itu.

Kamu hanya diam membisu, sambil bermanja lagi menyandarkan diri ke sebatang mahoni kecil, dipinggir sungai BKT itu. Matamu menerawang keatas sana.

Sementara indahnya sore makin diramaikan oleh gelombang masyarakat ibukota yang ingin meniup udara segar di proyek BKT itu, seiring bergesernya sore mulai berganti gelap menjelang malam. Dan kau tetap saja diam di sana, dan terus enjoy menikmati dua bungkus cokelat kesukaan kamu.

“Tiara….” panggilku lagi, dengan sedikit nada meninggi, “hari sudah mulai gelap, sebelum sms, call atau bbm kakakmu masuk, menyuruh pulang, jawablah tanyaku.”

Kamu masih diam ditempat, tapi kamu memberanikan diri menatapku. Pandangan kita beradu. Tetap nihil untaian kata dari bibirmu yang indah itu. Hatiku unjuk rasa, terus memprovokasi agar sesuatu segera keluar dari lubuk hatimu.

Tanpa kuduga, kau bangkit dari dudukmu, langsung memburuku dan menjatuhkan diri lagi dalam pelukanku. Kaupun menangis dalam pangkuanku.

“Kakak,,,” katamu terisak,”aku juga suka sama kamu, aku juga punya rasa itu, tapi…”
“Tapi, kenapa,” desakku.
“Kakak kan tahu, aku disini bersama saudara. Dia kakakku sekaligus orang tuaku. Mereka menginginkan pendampingku orang yang…”
“Maksudmu orang yang kaya ?!” potongku.

Kamu mengangguk dan kini giliranku yang terdiam menerima jawabanmu. Kamu makin mengencangkan dekapanmu dipangkuanku. Akupun memberikan satu kecupan sayang dikeningmu.

“Aku sadar, Tia. Zaman sekarang hidup memang tak cukup bermodalkan sayang dan cinta saja. Cinta tidak bisa dimakan, meski orang-orang tertentu mengatakan, makan saja itu cinta. Rasa sayang, cinta, ketulusan dan kecukupan materi memang seharusnya berpadu untuk mengabadikan kehidupan berumah tangga nanti.”

Kupandangi wajahmu dalam-dalam, sambil kurangkul erat-erat, karena mungkin itulah kesempatan pertama dan terakhir mencumbumu. Kita hanyut sesaat dalam kondisi kasmaran itu. Tiba-tiba dua anak sungai kecil keluar dari bening bola matamu.

“Lantas, bagaimana dengan kisah ini selanjutnya?” tanyaku lagi.
“Aku bingung, kak. Aku takuuut…” jawabmu lemah.
“Jika kamu benar-benar tulus menyampaikan semua itu tadi, aku hargai.

Sekarang demi keluarga kamu, mari kita bunuh cinta ini sesaat. Kamu bereskan kuliahmu, aku akan berjuang untuk meraih predikat sebagai orang kaya, sesuai yang disyaratkan itu.

“Kakak marah?”
“Tidak, aku hanya kasihan padamu. Demi saudara dan orang tua, kamu harus ikut membunuh anugeah Tuhan ini. Tidak masalah, tidak akan ada pihak yang akan menuntut kita sebagai pelaku sekaligus tersangka dalam pembunuhan ini,” ujarku sedikit bercanda.

“Maafkan aku, kak”
“Iya, ya…sudah, pulang yuk.” Ajakku.
Kulepaskan dekapannya dan kugandeng Tiara menuju sebuah motor yang menjadi saksi atas aksi dan obrolan kami tadi.

Kami tinggalkan suasana malam yang tak berembulan di disana dan kupacu motor itu, menyelinap terkadang merayap diantara ribuan dijalanan ibukota.

Entah bagaimana perjalanan kisah ini di kesekonan hari.
Kapankah aku bisa mendapatkan sebuah rumah yang tidak sederhana, minimal dengan satu sedan mewah digarasinya, berikut bukti deposito minimal setengah em dalam brangkas itu, sebagai pesyaratan boleh menggandengmu, Tiara-ku.

*) Yanuar Emra : sekarang berdomisili di ibukota Jakarta telah menekuni susastra sejak masih dibangku SMA. Sekarang ia berprofesi sebagai seorang Jurnalis