Welcome to oye

Selamat membaca....

Selasa, 13 Mei 2014

Pembunuhan Cinta

yane

CERPEN ; Pembunuhan Cinta

Karya : Yanuar Emra *)

KETIKA segala rasa tak mampu lagi kubendung dan getar hati semakin tak beraturan, saat itulah batinku berontak, menuntut sebuah kepastian darimu, apakah irama hatiku senada dengan nyanyian hatimu.

Bagaimanapun aku manusia biasa, punya rasa dan perasaan berbuah cinta yang tidak bisa kubunuh, karena cinta merupakan anugerah, datang begitu mengalir. Kucoba untuk tidak menurutkan kata hati, karena akan berbuah sebuah resiko tinggi. Kamu objek cintaku, adalah kamuTiara, adik tersayang dari bos-ku.

Diposisiku sebagai pekerja diperusahaan kakakmu, aku semakin mengutuk diriku, mengapa aku bertemu kamu disini, mengapa benih cinta yang sama-sama kita tabur begitu cepat bertumbuh dan kau telah merasuki di jiwa ini.

Aku semakin gila karena kasih yang kau sulut. Tanpa sadar bibit ini terpupuk alami dan subur disanubari. Namun kepastian masih tetap kau samarkan. Kau bagaikan sebuah teka-teki. Setiap aku mendesak kamu menyusun rencana, bahwa cinta ini harus segera dituai dan diikatkan dalam rajutan tali pernikahan, kamu selalu mengalihkan pembicaraan ke lain tema.

Terus terang, aku mengharapkan kamu tanpa embel-embel. Aku mendambakanmu bukan untuk mengeruk kekayaan keluarga kamu. Aku menganggap kamu adalah sebuah mutiara diantara berjuta insan disini. Aku punya firasat, kamu adalah yang terbaik dan sosok pendamping abadi bagiku.

Targetku hanyalah kamu beserta ketulusan hatimu menerima aku, jadi bukan harta keluarga kamu. Itupun akan aku sepadankan dengan ketulusanku menyayangi dan mencintai kamu selamanya.

Disuatu sore, karena cinlok ini tidak bisa kita pentaskan di lokasi terdekat dengan area keluarga kamu, kitapun kembali mencuri waktu, mencari tempat lain. Kita menikmati sore indah di Banjir Kanal Timur (BKT).

Aku hanya butuh kenyamanan, untuk mengutarakan segala rasa yang masih mengganjal di hati, dimana tak mampu lagi kudiamkan akhir-akhir ini.

“Tiara, aku capek menunggu, aku cuma pengen tahu, apakah aku bertepuk sebelah tangan?” tanyaku sore itu.

Kamu hanya diam membisu, sambil bermanja lagi menyandarkan diri ke sebatang mahoni kecil, dipinggir sungai BKT itu. Matamu menerawang keatas sana.

Sementara indahnya sore makin diramaikan oleh gelombang masyarakat ibukota yang ingin meniup udara segar di proyek BKT itu, seiring bergesernya sore mulai berganti gelap menjelang malam. Dan kau tetap saja diam di sana, dan terus enjoy menikmati dua bungkus cokelat kesukaan kamu.

“Tiara….” panggilku lagi, dengan sedikit nada meninggi, “hari sudah mulai gelap, sebelum sms, call atau bbm kakakmu masuk, menyuruh pulang, jawablah tanyaku.”

Kamu masih diam ditempat, tapi kamu memberanikan diri menatapku. Pandangan kita beradu. Tetap nihil untaian kata dari bibirmu yang indah itu. Hatiku unjuk rasa, terus memprovokasi agar sesuatu segera keluar dari lubuk hatimu.

Tanpa kuduga, kau bangkit dari dudukmu, langsung memburuku dan menjatuhkan diri lagi dalam pelukanku. Kaupun menangis dalam pangkuanku.

“Kakak,,,” katamu terisak,”aku juga suka sama kamu, aku juga punya rasa itu, tapi…”
“Tapi, kenapa,” desakku.
“Kakak kan tahu, aku disini bersama saudara. Dia kakakku sekaligus orang tuaku. Mereka menginginkan pendampingku orang yang…”
“Maksudmu orang yang kaya ?!” potongku.

Kamu mengangguk dan kini giliranku yang terdiam menerima jawabanmu. Kamu makin mengencangkan dekapanmu dipangkuanku. Akupun memberikan satu kecupan sayang dikeningmu.

“Aku sadar, Tia. Zaman sekarang hidup memang tak cukup bermodalkan sayang dan cinta saja. Cinta tidak bisa dimakan, meski orang-orang tertentu mengatakan, makan saja itu cinta. Rasa sayang, cinta, ketulusan dan kecukupan materi memang seharusnya berpadu untuk mengabadikan kehidupan berumah tangga nanti.”

Kupandangi wajahmu dalam-dalam, sambil kurangkul erat-erat, karena mungkin itulah kesempatan pertama dan terakhir mencumbumu. Kita hanyut sesaat dalam kondisi kasmaran itu. Tiba-tiba dua anak sungai kecil keluar dari bening bola matamu.

“Lantas, bagaimana dengan kisah ini selanjutnya?” tanyaku lagi.
“Aku bingung, kak. Aku takuuut…” jawabmu lemah.
“Jika kamu benar-benar tulus menyampaikan semua itu tadi, aku hargai.

Sekarang demi keluarga kamu, mari kita bunuh cinta ini sesaat. Kamu bereskan kuliahmu, aku akan berjuang untuk meraih predikat sebagai orang kaya, sesuai yang disyaratkan itu.

“Kakak marah?”
“Tidak, aku hanya kasihan padamu. Demi saudara dan orang tua, kamu harus ikut membunuh anugeah Tuhan ini. Tidak masalah, tidak akan ada pihak yang akan menuntut kita sebagai pelaku sekaligus tersangka dalam pembunuhan ini,” ujarku sedikit bercanda.

“Maafkan aku, kak”
“Iya, ya…sudah, pulang yuk.” Ajakku.
Kulepaskan dekapannya dan kugandeng Tiara menuju sebuah motor yang menjadi saksi atas aksi dan obrolan kami tadi.

Kami tinggalkan suasana malam yang tak berembulan di disana dan kupacu motor itu, menyelinap terkadang merayap diantara ribuan dijalanan ibukota.

Entah bagaimana perjalanan kisah ini di kesekonan hari.
Kapankah aku bisa mendapatkan sebuah rumah yang tidak sederhana, minimal dengan satu sedan mewah digarasinya, berikut bukti deposito minimal setengah em dalam brangkas itu, sebagai pesyaratan boleh menggandengmu, Tiara-ku.

*) Yanuar Emra : sekarang berdomisili di ibukota Jakarta telah menekuni susastra sejak masih dibangku SMA. Sekarang ia berprofesi sebagai seorang Jurnalis

Tidak ada komentar: