Welcome to oye

Selamat membaca....

Senin, 23 Juni 2014

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA III

KARENA ISTRIKU MIRIP CINA (Bagian III)

 
Cerita Bersambung : Yanuar Emra 

Untuk mengaburkan pusat perhatian orang-orang di sana, Feri Lay mengajak Reza ke dalam ruko itu, Aku mengaitkan siku kananku ke siku kiri Reza dan menggiringnya ke ruko.

“Maaf, Kak…Aku telat dating,” kata Reza.

“Aku paham. Kami tidak pernah berharap kamu datang, karena kamu milik negara, bukan milik keluarga saja,” balasku.

Rezapun berhenti sejenak, menatap dan memelukku.

Hey, Reza…sampai juga kamu di Padang ya?” celutuk Maryono menghampiri kami, lalu menyalami Reza.

“Ya, sudah…di dalam saja lanjutkan,” perintah Lay.

Kami berempat menghilang dari kerumunan warga di badan jalan Damar itu, kemudian melanjutkan obrolan di dalam ruko.

“Di Jakarta, itulah yang kuhadapi setiap hari, demo dan kerusuhan hampir di seluruh pelosok ibukota. Aku betul-betul muak dengan semua itu. Untuk menengok keluarga yang kena musibah juga tidak diberi kesempatan. Hari ini aku cabut dari dinas, langsung ke sini via udara, setelah mendapat info dari Dewi dan Mita tadi pagi,” cetus Reza menjelaskan.

“Tapi, kenapa kamu tidak minta izin dulu? Itu bisa membahayakan posisi kamu.”

“Setiap aku minta izin selalu tidak mendapatkannya, aku sudah tanggung resikonya akan penanggalan baju ini.”

Kucuri pandang ke seluruh wajah dan tubuhnya. Wajar jika tadinya aku rada-rada lupa dengan Reza, karena badannya yang makin mekar dan tegar.

“Bang…!” panggil Maryono lagi, “ Aku barusan mendapat izin untuk menengok Mbak dan Tiara di kampung.”

 “Oke, terima kasih. Sekarang kamu ke atas, panggil calonmu itu,” jawabku dan menyuruhnya mencari Mita di lantai dua untuk membuatkan kami minuman.

“Ah, Abang ni, aku jadi malu sama si aparat dari ibukota ni,” balas Maryono tersipu.

“Sudah… sudah, pergi ke atas sana, aku juga sudah tahu kok,” sela Reza.

“Siap, laksanakan...!” canda Maryono.

Tak lama ditinggal Maryono, Danki Pujo datang menghampiri kami. Ia pun menyalami kami. Namun, Reza harus memberi sikap hormat tegap di tempat dulu, baru membalas salam Danki.

Sementara di luar ruko sepintas kulihat keramaian warga mulai meningkat. Hampir satu jam, pasca terkaparnya sekelompok perusuh itu, situasi masih aman dan terkendali. Tanda-tanda kerusuhan yang lebih besar lagi tidak kelihatan, kemungkinan provokatornya berurung niat untuk mennyusupkan aksinya, karena pergerakan dan penempatan aparat di beberapa titik rawan sudah dilakukan oleh para pengambil kebijakan.

Danki Pujo menjelaskan kepada kami bahwa kerusuhan beberapa waktu lalu itu tidak terlepas dari campur tangan provokator.

“Dari bahan dan keterangan yang kami peroleh, awalnya begini juga, kemudian si provokator bergabung dengan iring-iringan massa yang banyak. Di saat itulah mereka mulai memanasi dan membangkitkan emosi yang lainnya dan mulai terjadi pelemparan, pengrusakan, penjarahan dan pembakaran serta tindakan asusila. Kami sudah mengamankan sejumlah baket berikut sejumlah tersangka. Otak provokator sedang dalam buruan kami. Mudah-mudahan dalam jangka dekat kami bisa menangkapnya,” jelas Danki Pujo.

 “Ya, mudah-mudahan saja, Pak,” harapku sambil mempersilahkan Danki Pujo menikmati kopi hangat suguhan Maryono dan Mita.

“Tapi, kami meminta bantuan Pak Yanki untuk membangunkan kembali perusuh-perusuh itu, mengingat yang menidurkan mereka tadi adalah pak Yanki. Kami sudah usaha, kami kewalahan begitu juga pihak PMI (Palang Merah Indonesia – ed). Jadi, kami kembalikan ke Bapak,” pinta Danki Pujo.

“Reza, sekarang baru giliran kamu. Coba kamu bangunkan mereka dengan pedang itu. Terserah kamu, mau diapakan mereka dengan pedang itu, yang jelas tidak akan ada darah dan luka, walau kamu bacok dan kibaskan lagi ditubuh mereka. Dahului dengan menyebut nama Allah,” pintaku pula pada Reza.

“Hah, jangan bercanda, Kak..?!” jawab Reza bingung.

“Terus…, mau kita apakan? Yang merubuhkan mereka pedang itu, tidak ada salahnya dicoba membangunkan kembali pakai pedang itu pula.”

“Hayo, Rez!” perintah Danki Pujo.

“Si…siap, Komendan!” jawab Reza. Dengan kondisi bingung ia menerima pedang itu dari tanganku, lantas memburu para perusuh itu lagi. Kami pun mengiringinya.

Di luar sana emosi Reza kembali tersulut. Satu persatu perusuh itu dibacoknya. Alhamdulillah, berkat bacokan itu pula para perusuh terbangun. Satu perusuh dijatahi Reza dengan satu bacokan plus satu tendangan ekstra sepatu pe de el-nya. Aksi tersebut sempat menimbulkan pekikan dan kengerian warga, terutama kaum perempuan yang ikut menyaksikannya.

“Ayo, kalian naik sana.” bentak Reza, menyuruh para perusuh naik ke truk Dalmas dan PHH Polda setempat.

“Reza, pelan-pelan saja. Hasilnya sama. Ngapain kamu buang banyak tenaga?” hardikku.

Akhirnya seluruh perusuh terbangun dan siap dibawa markas aparat setempat untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawabannya.

Aku membawa Reza kembali ke dalam ruko. Lay meminta Reza menyerahkan kunci taxi kuning terparkir di tengah jalan yang masih diblokir aparat itu. Tak lama kemudian, satu jeep wilis tua, satu taxi bandara Tabing dan satu motor gede milik kesatuan Maryono sudah terparkir di depan ruko itu. Kami melanjutkan obrolan dan minum kopi siang itu.

“Lay, lu punya agenda apa, kita bisa pulang nggak?” tanyaku ke Lay, karena aku mengincar kendaraannya untuk pulang kampung.

“Dari patang-patang den ajak pulang. Angku iyo ndak baa manundo, tapi aden alun maliek kondisi Tiara, Malu den ka urang rumah angku. Sanak macam apo den dianggapnyo beko. Kini siap-siap, langsung wak pulang.” jawab Lay.

Aku hanya tertunduk  mendengar jawaban Lay yang telah kehilangan sebagian besar aset dan seluruh anggota keluarganya. Ia telah menyatakan badunsanak dengan aku berikut seluruh keluargaku.

Pasca kerusuhan tempo hari, Lay sempat menyarankan agar aku segera menutup usahaku, karena menurut feng-sui versi dirinya, ruko ini tidak akan menghasilkan apa-apa lagi. Ia berencana, dengan sisa asetnya yang ada, mengajak aku menekuni bidang perkebunan. Lay menyatakan diri siap tinggal dengan keluarga besarku di Pandai Sikek, kaki Gunung Singgalang itu.

“Hey, kalian melamun apa? Ayo siap-siap. Kita pulang kampung. Dan kalian, Dewi, Mita boleh pulang cepat. Ambil libur beberapa hari. Aku yang tanggung jawab. Kalau ada yang kangen sama sersan Maryono, silahkan menyusul,” ujar Lay lagi sambil menyindir Mita bercanda.

Kami mengikuti semua ajakan Lay. Dengan jip wilis tua yang masih betenaga prima itu aku, Reza, Maryono dan Lay di belakang setir, langsung berangkat menuju Pandai Sikek, sebuah daerah di kaki Gunung Singgalang. (tamat)
 

Yanuar Emra, lelaki kelahiran 5 Januari tahun ketumbar, berprofesi sebagai wartawan dan budayawan, berdomisili di Jakarta – editor: Zakirman Tanjung (tzakirman@gmail.com)

Tidak ada komentar: